Friday, October 22, 1993

ZAMAN BERUBAH, BEGITU PULA DIHARAPKAN PBB oleh Fardah Assegaf

     Jakarta, 22/10/1993 (ANTARA) - Seorang penerjemah Presiden Libya Muammar Khadafi pada suatu ketika keliru menerjemahkan ucapan presidennya yang menyebut kata "PBB" dalam bahasa Arab menjadi "AS" dalam bahasa Inggris.
       Khadafi lalu menyeletuk: "Ia benar, memang 'UN' (PBB) sama dengan 'US' (AS)." Dan, tawa wartawan asing yang hadir pada konperesni pers tersebut meledak.
     Kelakar Presiden Khadafi yang terdengar terlalu "ekstrem" itu bukannya samasekali tidak berdasar.

        Sudah cukup lama banyak negara, khususnya dari dunia yang sedang berkembang, mempertanyakan "kedemokratisan" PBB, terutama yang menyangkut keanggotaan tetap di Dewan Keamanan, badan yang paling berpengaruh di organisasi dunia yang beranggotakan 187 negara itu.
      Disusun seusai Perang Dunia II, keanggotaan tetap DK PBB dipegang oleh negara-negara pemenang perang tersebut, yaitu AS, Perancis, Inggris, Cina dan Rusia (dulu Uni Sovyet). Kelima anggota tetap itu mempunyai hak veto yang ampuh untuk menentukan lolos atau tidaknya suatu keputusan DK PBB.
      Namun situasi dunia telah berubah, khususnya dengan berakhirnya perang dingin, yang terutama ditandai dengan runtuhnya Tembok Berlin serta terpecahnya Uni Soviet.
        Tamatnya riwayat "Si Beruang Merah", Uni Sovyet, menampilkan Amerika Serikat sebagai satu-satunya negara adidaya dunia. Sejak itu, tidak ada lagi "perang" veto antara AS dan "Uni Sovyet" yang kini digantikan Rusia di DK PBB.
       Sementara itu, Jepang dan Jerman, yang kalah dalam Perang Dunia II, kini muncul sebagai raksasa di bidang ekonomi.
       Negara-negara sedang berkembang yang jumlahnya kini jauh lebih banyak ketimbang pada tahun 1940-an, sekarang ingin pula berperanan penting dalam percaturan politik dunia. Mereka yang mewakili mayoritas penduduk dunia itu tidak rela menjadi "penonton" semata, apalagi sampai menjadi korban.
 

        Seruan GNB
        Antara lain karena perubahan-perubahan tersebut, Gerakan Non-Blok (GNB) yang beranggotakan 110 negara, dalam KTT ke-10 di Jakarta tahun lalu, menyerukan bagi diadakannya restrukturisasi PBB, khususnya di DK PBB.
        Dengan begitu diharapkan bisa terwujud keanggotaan tetap DK yang mewakili dunia secara lebih adil, baik dilihat dari segi geografis maupun segi lainnya.
        Presiden Soeharto, selaku Ketua GNB periode 1992-1995, ketika berpidato di depan Sidang ke-47 Majelis Umum PBB di New York, September 1992, menegaskan susunan keanggotaan DK PBB tersebut tidak sesuai lagi dengan situasi dunia setelah berakhirnya perang dingin.
        Seusai mengikuti sidang MU itu, Presiden mengungkapkan pendapatnya bahwa keanggotaan DK tersebut perlu ditambah minimal enam negara, yaitu Indonesia, India, Jepang, Jerman dan masing-masing satu negara mewakili Afrika dan Amerika Latin.
        Seperti halnya GNB, negara-negara Amerika Latin dalam KTT-nya di Salvador Juli lalu, yang dihadiri 23 pemimpin termasuk dari Spanyol dan Portugal, juga menuntut "perwakilan geografis" yang lebih besar dan adil di DK PBB.
        "PBB abad 21 hendaknya merupakan suatu organisasi solidaritas di antara semua umat manusia, dan bukan hanya alat untuk mencapai tujuan segelintir umat manusia," ujar Presiden Meksiko Carlos Selinas dalam KTT Ibero-Amerika itu.
        Sementara itu, Presiden Kuba Fidel Castro mengatakan: "(Kami) lebih dari 400 juta penduduk Amerika Latin, dan kami tidak mempunyai perwakilan tetap di DK PBB. Padahal, dari lembaga inilah kekuasaan hari ini berusaha memerintah dunia."
        "Mengapa kita tidak memprotes bagi demokratisasi dan pembaruan lembaga ini," ujar Castro, yang negaranya sedang terkena embargo ekonomi berdasarkan resolusi DK PBB dengan sponsor AS.
        Liga Arab yang beranggotakan 22 negara dalam keputusan sidangnya di Kairo September lalu turut pula menyuarakan keinginannya untuk menjadi anggota tetap DK PBB.
        Jepang dan Jerman, sebagai kekuatan ekonomi dunia, tampaknya tak bakal menghadapi hambatan berat untuk menduduki kursi DK PBB yang mereka inginkan.

        Prof Dr H. M. Solly Lubis, guru besar Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (USU) berpendapat negara-negara berkembang, yang selama ini kerap menerima perlakuan tidak adil akibat politik standar ganda beberapa negara besar yang duduk di DK PBB, harus terus memperjuangkan terwujudnya reorganisasi dan restrukturisasi PBB itu.

        Menurut dia, badan dunia tersebut saat ini sudah tidak memadai lagi untuk menangani konflik-konflik regional maupun internasional. Berlarut-larutnya konflik di Bosnia sering disebut-sebut sebagai bukti tidak efektifnya DK PBB.

        Juga di sekretariat

        Seorang diplomat asing di Jakarta berpendapat bahwa restrukturisasi PBB tidak saja perlu diadakan di DK tapi juga di Sekretariat badan dunia itu.

        Dubes Republik Yaman untuk Indoneisa Mohamed Abdulaziz Sallam, yang pernah menduduki jabatan dubes Yaman Utara untuk PBB di New York, mengatakan staf Sekretariat PBB banyak berasal dari negara-negara maju, khususnya Amerika dan Eropa, sementara jumlah staf dari negara-negara berkembang relatif sedikit.

        Jumlah staf yang tak mencerminkan proporsi yang adil secara geografis itu sangat memprihatinkan karena peran Sekretariat PBB sangatlah penting, katanya.

        Merekalah yang menyiapkan semua rancangan resolusi maupun usulan- usulan lainnya. "Jadi tidak heran bila kepentingan negara-negara asal mereka lebih terwakili dalam rancangan-rancangan tersebut," jelas Dubes.

        Sekretaris Jenderal PBB Boutros Boutros-Ghali, yang telah menerbitkan buku "Agenda bagi Perdamaian", telah menyatakan dukungannya bagi restrukturisasi PBB dan mengharapkan usaha tersebut bisa mulai terwujud pada tahun 1995, bertepatan dengan HUT Ke-50 PBB.

        Dalam pidatonya pada jamuan makan siang bagi para pemimpin dunia, termasuk Presiden AS Bill Clinton, di New York baru-baru ini, Boutros-Ghali mengatakan: "PBB yang anda datangi saat ini bukanlah PBB yang dahulu. PBB adalah instrumen praktis untuk memajukan kepentingan dunia secara keseluruhan."(T/RI4/SP04/22/10/93)

Oleh Fardah Assegaf. Jakarta, 22 Oktober 1993.

No comments:

Post a Comment