Thursday, June 9, 2005

PERSATUAN EMIRAT ARAB, HARMONI ANTARA MODERN DAN TRADISIONAL by Fardah Assegaf



    Prof. Mohammed Arkoun, cendikiawan Muslim yang berasal dari Aljazair namun bermukim di Perancis, pernah mengatakan "Modern itu ada di dalam isi kepala, bukan yang tampak oleh mata saja." Ia berkata sambil menempelkan jari tangannya di pelipis sebelah kanan.
    Ketika pemerintah negara Persatuan Emirat Arab (PEA) mengundang ANTARA pada 21-25 Juni 2005, melalui kedubesnya di Jakarta, ucapan Pro.Arkoun itu terkenang kembali.
     ANTARA diundang untuk melakukan penandatanganan nota kesepahaman (Memorandum of Understanding -MoU) mengenai kerjasama pertukaran berita antara LKBN ANTARA dengan Kantor Berita PEA, Wakalat Anba'a al-Emarat(WAM).
     Meskipun kunjungan itu relatif singkat, hanya empat hari, namun cukup memberikan kesempatan untuk melihat kemampuan masyarakat PEA dalam memadukan secara harmonis antara kehidupan yang sangat modern dan upaya mempertahankan nilai-nilai tradisional Arab yang Islami.
    Pembangunan gedung-gedung dan prasarana di Abu Dhabi dan Dubai, dua kota yang dikunjungi, menampilkan gambaran kota yang megah dan modern, bahkan hotel berbintang tujuh dengan kamar bertarif 10.000 dolar AS per malam pun ada.
    Pesona di Dubai Media City misalnya dapat mencengangkan pengunjung, bukan saja karena fisik gedung yang transparan dan modern atau fasilitas tekhnologi informasi (TI)-nya yang sangat canggih, tapi juga oleh pemikiran modern dan visi dari para penguasa di Dubai.
       "Kami tidak lagi menggunakan kertas dalam pekerjaan sehari-hari, semua pelayanan publik sudah alihkan ke elektronik. Dengan sistem e-government yang kami luncurkan sejak Oktober 2001, yang ada hanya pelayanan (service) yang ramah kepada masyarakat, sehingga hambatan kekuasaan, birokrasi, atau korupsi sudah disingkirkan. Bahkan 'pemerintah' pun tidak ada lagi, yang ada adalah 'bisnis'," Mohamed S.M. Kahoor, Direktur Protokol dan Pelayanan Pelanggan, pada Otoritas Zona Bebas Media dan Teknologi Dubai (Technology and Media Free Zone Authority), menjelaskan kepada ANTARA yang didampingi oleh Kuasa Usaha KBRI di Abu Dhabi Muhammad Soleh.
     Seperti halnya Kahoor, para pejabat PEA, termasuk Direktur Jenderal Kantor Berita PEA (WAM) Ibrahim Al-Abed, Pemimpin Redaksi Surat Kabar Gulf News, dan Menteri Pendidikan PEA Sheikh Nahayan bin Mubarak Al Nahyan, semua memakai baju tradisional Arab, berwarna putih dan berpotongan bak gaun panjang.
        Mereka tampak santai, cerdas, penuh percaya diri, sopan dan ramah, seperti komentar Soleh : "Orang Emirat itu ramah dan tidak sombong."         Komentarnya mendapat anggukan tanda setuju dari Duta Besar Indonesia untuk PEA Faisal Bafadal, mengenai sifat umum masyarakat Dubai, pada hari pertama ANTARA tiba di Abu Dhabi.         Kunjungan kehormatan kepada Menteri Pendidikan PEA Sheikh Nahayan bin Mubarak Al Nahyan, kerabat dekat Presiden PEA yang sekaligus Emir Abu Dhabi, memberi kesempatan langsung untuk menyaksikan dan mengalami keramah-tamahan dan sopan santun orang Emirat.         Sheikh Nahayan hampir setiap hari menggelar jamuan siang untuk para tamunya, seperti pada siang itu, diantara para tamu istimewanya adalah seorang menteri dari Mozambiq, Pemimpin Umum LKBN ANTARA M.Sobary dan Dubes Faisal Bafadal.         Puluhan Baki berukuran besar, penuh dengan berbagai macam nasi dan lauk-pauk, terutama olahan daging kambing, baik yang digoreng, dipanggang maupun dikukus tersaji dengan berlimpah.         Semua tamu termasuk Sheikh Nahayan makan aneka masakan lezat itu dengan menggunakan tangan.         Di antara para tamu juga ada seorang pria Arab setengah baya yang berpakaian tradisional, yang ternyata adalah warga negara Arab Saudi keturunan suku Bugis, Sulawesi Selatan, maka jadilah namanya Naeem Al Bougis.         Seusai makan siang, para tamu menuju ke tempat cuci tangan yang terletak di ruangan sebelah kamar makan, kemudian kembali berkumpul di aula, tempat sehari-hari Sheikh Nahayan menerima tamu secara terbuka, baik orang Emirat maupun warga negara asing.         Suguhan teh dan kopi Arab dihidangkan, sementara seorang petugas membawa pembakaran asap wewangian, sejenis dupa gaharu, berjalan mendatangi setiap tamu satu persatu agar mereka dapat menikmati bau harumnya.         "Ini tandanya waktu kunjungan segera berakhir," ujar Dubes Bafadal yang sangat dikenal oleh Sheikh Nahayan.         Ketika berpamitan dengan Menteri Pendidikan PEA tersebut, tak disangka Dubes Indonesia beserta rombongan diminta untuk kembali lagi keesokan harinya, tepatnya jam 8.00 pagi untuk sarapan bersama.         Pagi keesokannya, belasan orang hadir untuk makan pagi dan semuanya adalah pria yang kebanyakan berusia sangat lanjut, berkafiye dan berbaju panjang putih.         Ayahanda Sheikh Nahayan, juga datang dengan mobil yang disetir sendiri oleh sang menteri.         Menteri terlihat memapah ayahandanya ke kursi paling depan dan menghidangkan makanan untuk orangtuanya. Sambil melayani ayahnya, sang menteri tak lengah memperhatikan tamu-tamunya, terutama M.Sobary sebagai tamu yang datang dari jauh.         Ia mengajak para tamu untuk mencicipi berbagai makanan, ada nasi daging kambing, roti Arab dan pancake dengan madu. Lucunya, Sheikh Nahayan, yang berbadan ramping, tidak ikut makan, tapi hanya menemani dan melayani saja.         Seusai sarapan Sheikh Nahayan kemudian mencuci tangan ayahandanya di baskom warna keemasan berisi air yang dibawa oleh seorang pelayan, kemudian, mengelap tangan itu dengan lembut.
Lalu, kembali memapahnya menuju aula untuk bercengkrama dengan teman dan kerabatnya.

        Sebagai satu-satunya perempuan di tengah kaum pria, penulis lalu "melarikan diri" keluar ruangan dan menunggu di dalam mobil KBRI yang diparkir di luar gedung. Tapi rupanya tuan rumah memperhatikan, lalu mengutus pengawal yang dengan sopan mengajak kembali ke aula.

        Mkan pagi bukan hanya untuk tuan rumah dan tamunya, menurut Imam, sopir KBRI, para sopir, pelayan dan pengawal juga mendapat giliran untuk sarapan di tempat yang sama, menyusul pada urutan berikutnya para tukang kebun.

        "Setiap kali saya kemari, selalu diajak makan juga," kata Imam yang sudah bertahun-tahun tinggal di Abu Dhabi.

        Imam datang ke Abu Dhabi setelah mendapat undangan dan visa dari mantan menteri perminyakan PEA.

        "Saya bertemu dengan menteri PEA ketika mengaji di Masjidil Haram. Ia duduk di sebelah dan memperhatikan cara saya mengaji," ujar Imam yang waktu itu bekerja sebagai penjaga toko di Arab Saudi.

        Menteri PEA itu, menanyakan negara asalnya dan memintanya untuk membimbing anak-anaknya mengaji, tetapi tawaran itu tidak dapat diterima karena Imam masih terikat kontrak kerja.

        "Setelah kontrak kerja saya di Saudi selesai, saya kembali ke Indonesia dan rupanya si menteri ingat pada janjinya, sehingga mengirim utusan ke desa saya untuk menyampaikan visa PEA," ujarnya.

        Kisah Imam adalah ceritera seorang TKI (tenaga kerja Indonesia) yang pernah merasakan manisnya "madu" kehidupan berkat kebaikan seorang pejabat tinggi PEA.

        tak selalu untung

        Namun, memang tidak semua bisa beruntung seperti Imam. Buktinya, kini masih ada sekitar 200 TKW (tenaga kerja wanita) Indonesia yang masih menunggu penyelesaian masalah kerja dengan mantan majikan mereka di PEA.

        "Saya sering ditugaskan untuk membantu mereka dan kadang-kadang harus berurusan dengan mantan majikan mereka. Jika majikannya terbukti bersalah, ada TKW yang mendapat kompensasi sebesar 100.000 dirham, atau sekitar 250 juta rupiah," kata Imam.

        Di atas pesawat Gulf Air dalam perjalan pulang dari Abu Dhabi ke Jakarta beberapa waktu lalu, seorang TKW berceloteh dengan rekan yang duduk disampingnya, "Majikan ku pernah bilang kalau Presiden Indonesia sekarang namanya 'Bembeng'. Nggak tahu siapa ya 'Bembeng' itu."

        Rupanya TKW itu sudah lebih dua tahun tidak pulang ke Indonesia sehingga tidak tahu bahwa Presiden Indonesia yang sekarang adalah Susilo Bambang Yudhoyono.

        Menurut catatan resmi, jumlah TKW di PEA hanya sekitar tiga puluh ribu-an orang, namun menurut informasi tak resmi memperkirakan, jumlah mereka mencapai 400.000 ribu.

        Maka tak heran jika Indonesia sangat dikenal di PEA berkat kehadiran para perempuan Indonesia yang pemberani itu di tengah-tengah keluarga orang-orang Emirat.

        PEA, yang terdiri dari gabungan wilayah Abu Dhabi, Dubai, Sharjah, Ajman, Umm al-Qaiwain, Ras Al-Khaiman dan Fujairah, berpenduduk sekitar 4 juta jiwa, yang lebih dari separuhnya adalah pendatang asing.

        "Di Dubai, beragamnya kebangsaan pendatang asing melebihi di Gedung Persatuan Bangsa-bangsa di New York," ujar M. Kahoor di Media City.

        Pada tahun 2010, Dubai, sebagai pusat bisnis dunia, mengharapkan kedatangan sekitar 4 juta pendatang baru, baik profesional maupun pengusaha. "Tentu saja yang kami harapkan adalah mereka yang memiliki kualitas nomer 1, 2 atau 3. Kami tidak mau kurang dari itu," tambahnya. (T.F001/B/M007/M007) 09-06-2005

No comments:

Post a Comment