Thursday, March 23, 2000

YAMAN, 10 TAHUN "KAWIN PAKSA" TAPI TETAP RUKUN oleh Fardah Assegaf



      Sepuluh tahun sudah usia Yaman "bersatu" - hasil penggabungan dua negara yang sebelumnya dikenal sebagai Yaman Utara dan Yaman Selatan.
    Namun rupanya hingga saat ini penduduk Yaman belum berhasil benar-benar menyatukan hati mereka.
    "Ini adalah pendudukan (Yaman Utara atas Yaman Selatan)," ujar Badr Basunaid, yang sering mengritik Pemerintah Yaman dan masih menuntut dipertahankannya dua Yaman, kepada wartawan Los Angeles Times, David Kelly di Aden, kota pelabuhan yang dahulu adalah ibu kota Yaman Selatan.
   Banyak penduduk Aden yang merasakan hal serupa dengan Badr Basunaid sejak Pemerintah Yaman Utara berhasil menguasai bagian selatan, termasuk Aden, melalui program yang dinamakan penggabungan dua Yaman pada tahun 1990.
    Penduduk di bagian selatan sejak dahulu merasa lebih "superior" namun sering menjadi bulan-bulanan saudara sepupu/misan mereka di bagian utara, yang jumlah penduduknya tujuh kali lebih banyak dari mereka yang di selatan.
    Ketika mengunjungi Yaman pada tahun 1997, penulis mendapat kesan serupa. "Penggabungan kami dengan Utara ibarat 'kawin paksa'," ujar seorang sopir yang kami sewa di Al-Mukalla untuk membawa rombongan wartawan Indonesia ke Seiyun, juga di daerah selatan, tepatnya di wilayah Hadramaut.
     Perusahaan penerbangan Yaman, Yaman Air, pada waktu itu mengundang wartawan Indonesia untuk mengunjungi sejumlah daerah wisata kuno dan religius yang masih utuh dan terpelihara baik di Yaman.
     Menurut pengamatan Kelly, warga selatan sering merasa dianak-tirikan sementara mereka yang berasal dari utara mendapat pekerjaan yang lebih bagus dari penduduk di bagian selatan. 

        Banyak penduduk dari utara yang pindah ke Aden, yang dulu menjadi kota kosmopolitan semasa penjajahan Inggeris, dan mendapat posisi penting di kantor-kantor Pemerintah maupun militer.
      Perlakuan diskriminasi ini membuat jengkel penduduk dari selatan, yang menganggap diri sebagai orang yang modern dan moderat dalam kehidupan beragama.
      Inggeris pernah menjajah Yaman bagian selatan selama lebih dari seabad. Pada tahun 1967, Yaman selatan merdeka dan tiga tahun kemudian membentuk Republik Demokratik Yaman, satu-satunya negara Marxist di dunia Arab.
    Walaupun Pemerintah Yaman Selatan duluh sangat dekat dengan Soviet yang komunis, penduduknya masih banyak yang religius.
     Penduduk bagian utara dan selatan sering berperang kecil-kecilan di wilayah perbatasan. Perang yang paling seruh terjadi pada tahun 1979 dan menewaskan sekitar 10.000 orang tewas.
       Utara dibantu oleh Amerika Serikat, sementara Selatan dipersenjatai oleh Soviet. Pada tahun 1990, kedua pihak bernegosiasi untuk bergabung menjadi satu negara.
    Empat tahun kemudian, penduduk selatan yang kecewa memberontak namun dapat dipatahkan oleh tentara dari utara sehingga Yaman tetap menjadi satu negara hingga kini.
     Populasi rakyat Yemen, dengan ibu kota di Sana'a (Yaman bagian utara), kini sekitar 17 juta orang, termasuk 15 juta di wilayah utara. Presiden Yemen adalah Ali Abdallah Saleh, yang berasal dari utara.
    Sama-sama berbahasa Arab serta mempunyai postur tubuh yang serupa, namun rakyat Yaman di utara dan di selatan merasa berbeda.
    Mereka yang di utara terkenal lebih tradisional dan masih sangat kental budaya kesukuan mereka. Kecuali mereka yang kerja di kantor, kebanyakan penduduk di Yaman bagian utara masih memakai pakaian tradisional lengkap dengan golok khas mereka "jambiya".
   Orang selatan sering menyebut penduduk dari utara sebagai "biadab" dan tak berbudaya karena mereka suka membawa senjata (baik jambiya maupun senjata api), dan senang bermalas-malasan sambil mengunyah daun khat (semacam kokain dan membuat orang kecanduan).
    Sementara itu, penduduk utara sering menganggap orang selatan sebagai pembangkang dan seperatis, padahal orang selatan sering mengklain diri sebagai orang yang berpendidikan dan pengetahuan agama mereka luas.
    Di beberapa wilayah Yaman bagian selatan, khat bahkan dilarang diperdagangkan. Namun, di pasar-pasar di Aden, banyak orang berjualan khat karena banyak orang dari utara yang pindah ke kota pelabuhan yang tergolong "modern" bagi Yaman ini.
    Di Yaman bagian selatan, banyak terdapat pusat-pusat pendidikan agama. Bahkan sejumlah pemuda dari Indonesia hingga kini masih menempuh pendidikan dengan beasiswa di daerah Hadramaut ini, terutama di Tarim, sebuah kota kecil dan sangat sederhana tapi banyak dihuni oleh para santri dari berbagai negara.
     Walau orang selatan menganggap penggabungannya dengan utara adalah suatu hal yang "dipaksakan", nyatanya kehidupan rakyat Yaman, baik yang di selatan maupun di utara, berjalan normal dan aman-aman saja.
    "Negara Yaman itu satu, dan kami juga satu bangsa. Kami semua bersaudara dan beragama Islam," kata Abdullah Saleh, yang berasal dari utara namun kini menjadi pedagang rempah-rempah di Aden.
   Yaman masih merupakan negara yang aman bagi rakyatnya, kecuali, mungkin bagi wisatawan Eropa dan Amerika, yang sering menjadi sasaran penculikan oleh suku-suku pemberontak di utara.
     Namun anehnya, walau sering diculik, wisatawan asing, terutama yang senang berpetualang, tidak jera untuk mengunjungi negeri kuno ini karena akhirnya para wisatawan ini selalu dibebaskan setelah ditebus dengan uang, dan bahkan diperlakukan dengan baik oleh para penculik mereka selama mereka disekap.
    Apalagi negeri ini sangat unik dan memberi kesan bagi pengunjung dari negera lain seakan kembali ke kehidupan beberapa abad silam karena begitu kuno dan tradisionalnya rakyat dan bangunan negeri ini.
Oleh: Fardah Assegaf. Jakarta, Maret 2000.

No comments:

Post a Comment