Friday, March 9, 2001

ASWAN, SI MUTIARA HITAM DARI MESIR oleh Fardah Assegaf



     Cuaca pada akhir bulan Februari lalu sangat sempurna bagi wisatawan yang sedang melewat ke Aswan, sebuah kota kecil di Mesir bagian selatan. Langit biru di atas Aswan begitu jernih, suhu sekitar 25 derajat Celsius cukup sejuk ditambah lagi dengan angin sepoi-sepoi yang melewati air biru sungai Nil.
Banyak wisatawan asing yang berjemur di atas kapal pesiar yang berjejer di sepanjang Sungai Nil sambil menikmati pemandangan pulau-pulau kecil yang hijau serta birunya air sungai.

Dari sela-sela hijaunya dedaunan pohon, tampak bangunan-bangunan kuno dan beberapa puing kuil yang berusia ratusan bahkan ribuan tahun di  pulau kecil, tepian sungai Nil.
Yang tak kalah indahnya untuk dinikmati dari pinggiran sungai Nil di Aswan ini adalah pemandangan saat terbenamnya matahari. Bias warna-warni sinar matahari yang menghiasi langit biru dipadu dengan alam yang asri, iringan rombongan burung-burung yang pulang ke peraduannya, serta suasana yang hening terasa sangat romantis.
Berbeda dengan penduduk di Kairo yang kebanyakan sangat putih kulitnya, maka mayoritas penduduk Aswan, yang terletak di bagian selatan Mesir, berkulit sawo matang atau hitam, mirip dengan tetangga mereka di Sudan.
“Banyak dari kami yang mempunyai keluarga di Sudan,” kata Mohamad Husin, petugas kantor penerangan daerah Aswan yang mendampingi rombongan wartawan Indonesia sepanjang kunjungan ke Aswan.
Di banding dengan Kairo yang selalu berdebu, kota Aswan yang berpenduduk sekitar satu juta orang ini, berudara cukup bersih dan lebih hangat suhunya. Kota yang terkenal karena bendungannya ini menerima kunjungan sekitar tiga juta wisatawan terutama dari Eropa setiap tahunnya.
“Februari hingga April merupakan bulan-bulan puncak kedatangan wisatawan asing. Pada musim panas, yang bisa mencapai 40 derajat Celsius, jumlah mereka yang kemari sangat sedikit,” ujar Husin kepada wartawan Indonesian Observer, Capital dan ANTARA yang berkunjung ke Mesir atas undangan Kepala Bidang Penerangan Kedubes Mesir, Tala’at Lotfy.
Pariwisata merupakan sumber utama penghasilan daerah ini dan rakyatnya yang masih banyak berpakaian tradisional, sangat sadar akan aset ini sehingga mereka pelihara betul keutuhan alam dan warisan sejarah meraka.
Pasar tradisional Aswan yang hiruk-pikuk dan buka hingga tengah malam, sangat ramai menjajakan berbagai rempah-rempah serta kerajinan Nubia, terutama anyaman berwarna-warni serta serta lukisan dari papirus.
Aswan memiliki lebih dari 200 kapal pesiar yang menawarkan paket wisata beragam antara lain ke Luxor dan Kairo dengan lama perjalanan sekitar dua minggu.
“Sepanjang pelayaran menelusuri sungai Nil, mereka berhenti beberapa kali untuk menikmati warisan budaya seperti kuil Abu Simbel yang dibangun oleh Raja Ramses II yang hidup pada sekitar tahun 1300 sebelum masehi,” ujar Husin, yang berkulit sawo matang itu.
Di Aswan, wisatawan dapat menyeberang dengan perahu menuju Pulau Elephantic dimana terdapat perkampungan nelayan dan museum, serta Pulau Agilkia untuk melihat kuil yang dibangun untuk Isis yang semula dibangun di Pulau Philae dibangun pada tahun 350 sebelum masehi.
UNESCO sangat berjasa dalam menyelamatkan Kuil Isis atau Philae dan Abu Simbel dari bahaya tenggelam pada saat pembuatan bendungan Aswan dan danau buatan yang diberi nama Danau Nasser.
Operasi penyelamatan puluhan peninggalam arkeologi oleh UNESCO itu berjalan dari tahun 1960 hingga 1980, antara lain dengan memindahkan Kuil Simbel yang di bangun di bukit batu serta Kuil Isis di Pulau Philae ke pulau-pulau kecil terdekat lainnya.

                                    Nubia
Selama ini Aswan lebih terkenal secara internasional karena bendungannya yang luar biasa besarnya, bahkan nomer dua terbesar di dunia setelah bendungan di Rusia.
Pada zaman dahulu daerah Aswan serta sebagian wilayah Sudan dikenal sebagai daerah bangsa Nubia. Sejak pemerintahan para fir’aun  Mesir, Nubia dipandang sebagai daerah ‘pintu masuk’ yang strategis ke Afrika.
            Menurut ceritera, nama Nubia berasal dari kata kuno Mesir ‘nbu’ yang berarti ‘emas’ karena Nubia terkenal akan tambang emasnya. Maka tak heran jika banyak diketemukan perhiasan-perhiasan di tubuh mumi yang berusia ribuan tahun.
            Banyak warisan budaya Nubia, termasuk dari zaman pra-sejarah, yang tersimpan baik di Museum Nubia, yang dibangun di kota Aswan atas kerjasama Pemerintah Mesir dan UNESCO.
            “Museum yang luasnya 50.000 m2 ini banyak menyimpan benda-benda yang diselamatkan dari ancaman tenggelam akibat pembangunan bendungan Aswan dan Danau Nasser,” ujar Husein.
            Benda-benda yang dipamerkan antara lain dari zaman pra-sajarah 9000 tahun sebelum masehi, zaman Nubia dimasa Firaun, kerajaan Meroe, Romawi (sekitar 30 sebelum Masehi), Kristen, Islam hingga di zaman modern.
Tak ketinggalan, Museum Nubia, sebagai mana kebanyakan museum di Mesir lainnya, juga menyimpan mumi yang berusia ribuan tahun.

No comments:

Post a Comment