Friday, February 28, 2003

Semua Orang Berhak Dapat Air Bersih, Tapi Tidak Gratis oleh Fardah

     Jakarta, 28/2/2003 (ANTARA) - Ny. Len Tang Hok (43 tahun) kini mulai bisa menyisihkan uang untuk membeli makanan yang lebih bergizi bagi ketujuh anaknya, sejak rumahnya mendapat pelayanan air dari Perusahaan Daerah Air Minum di Phnom Penh (PWSA).
        Sebelum mendapat layanan PWSA, wanita yang tinggal di perkampungan kumuh Pra You Vong, di ibu kota Kamboja itu, dulu harus membeli air dari penjaja keliling senilai 1.000 riels (sekitar Rp2.300) setiap hari.
        Kini ia hanya membayar 5.000 riels (sekitar Rp11.500) per bulan kepada PWSA, yang baru-baru ini memperluaskan layanannya hingga ke perkampungan penduduk miskin tersebut.
        Bagi Len Tang Hok, dapat menghemat senilai Rp57.500 per bulan sangatlah membantu dalam memutar roda perekonomian keluarganya, mengingat penghasilan suaminya sebagai sopir angkot rata-rata hanya sekitar Rp11.500 per hari.
        Ibu rumah tangga Kamboja itu merupakan satu dari segelintir orang miskin yang cukup beruntung, karena dapat menikmati layanan air yang dikelola pemerintah daerah, yang biayanya langganannya jauh lebih murah dibanding harga air yang dijual penjaja keliling.
        Di sejumlah negara berkembang, rakyat miskin biasanya harus mengeluarkan biaya lebih besar untuk membeli air dari penjaja, bahkan bisa sepuluh kali lipat dari biaya yang dikeluarkan orang kaya pelanggan Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM).
        Penduduk miskin sering terlupakan sehingga banyak yang tak terjangkau layanan publik yang dikelola pemerintah setempat. Sebaliknya, orang kaya yang tinggal di daerah elit selalu mendapat prioritas akan layanan air leding dari PDAM dan listrik dari Perusahaan Listrik Negara (PLN).
        Sementara itu, bagi mereka yang sangat miskin sehingga tidak mampu membeli air bersih, banyak yang harus meninggal dunia pada usia dini akibat mengkonsumsi air yang tidak bersih.

        Menurut catatan WHO (Organisasi Kesehatan Dunia), lebih dari satu miliar orang setiap tahun terjangkit penyakit akibat mengkonsumsi air yang sudah terkontaminasi, dan lebih dari tiga juta diantaranya meninggal setiap tahunnya, termasuk sekitar dua juta anak-anak.

        Steve Iddings dari WHO menjelaskan kepada peserta Lokakarya Jurnalistik Asia Timur mengenai kebijakan air, yang diselenggarakan di Phnom Penh baru-baru ini, bahwa lebih dari dua juta orang meninggal, 90 persen diantaranya adalah anak-anak, akibat penyakit diare karena mereka telah mengkonsumsi air kotor.

        Orang miskin, khususnya anak-anak, paling rawan terhadap penyakit yang berhubungan dengan air. Lebih dari 20 persen pendapatan mereka dihabiskan hanya untuk membeli air, tapi tetap saja terkadang airnya tidak aman untuk dikonsumsi.

        Perilaku yang sehat sangat perlu untuk menjamin agar air tetap aman dan bersih, kata Iddings.

        Air dan Kemiskinan

        Mengingat keterkaitan erat antara air dan kemiskinan, maka Forum Air Sedunia (WWF) ke-3 yang akan berlangsung di Jepang pada Maret 2003 menjadikan dua isu tersebut sebagai tema sentral pertemuannya.

        Forum itu juga akan memfokuskan pada upaya global untuk mencapai ketersediaan air pada abad 21.

        Bank Pembangunan Asia (ADB) telah mencanangkan Inisiatif Air dan Kemiskinan dengan menggencarkan kebijakan yang memberi peluang lebih besar bagi rakyat miskin untuk mendapatkan air dengan tetap memperhatikan konservasi dan kesinambungan sumber daya air.

        Wouter T. Linklaen Arriens, ahli sumber daya air dari ADB, dalam presentasinya pada lokakarya jurnalistik tersebut, mengatakan bahwa dua per tiga penduduk dunia akan mengalami kesulitan mendapatkan air pada tahun 2025, dan lebih dari satu miliar orang akan kekurangan air bersih.

        Di benua Asia saja, 40 persen penduduk miskin di perkotaan belum mendapat layanan air leding.

        Banyak negara berkembang, yang sedang memacu Program Pemberantasan Kemiskinan, tidak memasukkan masalah air dalam strategi mereka.

        Hal itu merupakan kelemahan para ahli air, karena mereka sering kali bicara soal air hanya dengan rekan-rekan seprofesi.

        Masalah air sering ditangani secara sepihak oleh masing-masing bidang dan kurang koordinasi dengan pihak-pihak luar yang mungkin terkait, kata Arriens.

        Menurut ADB, ada enam faktor kunci untuk membantu orang miskin agar bisa mendapat layanan air yang memadai, antara lain dengan memperbaiki kebijakan mengenai air.

        Selain itu, memperbesar peluang bagi si miskin untuk mendapatkan air, terutama pengadaan air minum, dan meningkatkan investasi di bidang pengairan yang dapat menambah penghasilan si miskin.

        Barang bernilai ekonomi

        Dulu, banyak orang sering memperlakukan air sebagai barang publik yang bisa dipakai semaunya tanpa mempertimbangkan nilai ekonominya maupun upaya penghematannya.

        Namun, masa-masa seperti itu telah lewat, walau menurut undang-undang hak asasi manusia internasional, secara jelas disebutkan bahwa air merupakan hak asasi manusia.

        Kini air merupakan barang yang bernilai ekonomi tinggi, walau masih tetap menjadi hak masyarakat untuk memperolehnya, kata Arriens.

        Bahkan, menurut Bank Dunia (WB/World Bank), air kini lebih penting dari minyak atau emas. Tingkat kemiskinan tidak dapat dikurangi jika masyarakat tidak mengerti arti penting air bagi pembangungan, demikian pernyataan WB itu.

        Selama seabad lewat, volume air yang digunakan penduduk dunia meningkat enam kali lipat, seiring dengan meningkatnya jumlah populasi hingga tiga kali lipat.

        Pada tahun 2025, ada 48 negara diperkirakan akan mengalami kekurangan air, dan sekitar 2,8 miliar penduduk akan merasakan akibatnya, sementara jumlah permintaan akan melebihi 56 persen dari suplai air yang tersedia.

        Perang pada abad ke-20 sering karena berebut minyak, namun pada abad berikutnya perang akan dipicu karena berebut air, kata Ismail Serageldin, Wakil Presiden WB pada tahun 1995.

        Forum Air Sedunia (WWF) ke-2 dan Deklarasi Milenium PBB telah menetapkan target untuk mengurangi 50 persen dari jumlah mereka yang tidak terjangkau layanan air bersih pada tahun 2015 mendatang, dan akan menyediakan air bersih, serta sanitasi yang sehat bagi semua orang pada tahun 2025.

        Namun, diperlukan dana yang besar untuk investasi proyek-proyek layanan air, termasuk untuk air leding, irigasi dan pembuatan dam. Padahal, banyak negara di Asia yang tidak mempunyai dana yang cukup dalam anggaran mereka.

        Investasi penyediaan air bersih dan sanitasi saja diperkirakan akan menghabiskan dana sebesar 23 miliar dolar AS setahunnya.

        Guna membantu investasi proyek penyediaan air, ADB telah memberikan pinjaman sebesar 17 miliar dolar AS, atau sekitar 20 persen dari keseluruhan pinjaman yang ADB telah berikan di berbagai sektor. Sebagian besar pinjaman ADB tersebut diberikan kepada Indonesia, China dan India.

        Arriens menjelaskan bahwa PDAM perlu merangkul pihak swasta, agar mau berpartisipasi dalam menyandang sebagian dana atau menyediakan tenaga terampil, mengingat nilai investasinya yang sangat besar.

        Sebagai bentuk perlindungan terhadap hak-hak masyarakat, maka diperlukan aturan yang jelas dan ketat mengenai partisipasi swasta ini, katanya.

        Air selalu menjadi isu yang sensitif dan gampang membangkitkan emosi masyarakat karena itu harus ditangani dengan hati-hati, tambahnya.

        Pakar air yang pandai berbahasa Indonesia itu menegaskan bahwa ADB mendorong partisipasi pihak swasta, tapi bukan berarti swastanisasi air.

        Pemerintah harus tetap memegang hak untuk menguasai dan mengatur air, dan mempertimbangkan kemampuan ekonomi masyarakat. Air tidak dapat diswastakan. Swastanisasi air merupakan konsep yang salah, ujarnya.

        Bank Dunia dan ADB, dua badan penyandang dana internasional yang banyak memberikan pinjaman untuk investasi proyek air di sejumlah negara berkembang itu, menganjurkan program pemulihan biaya, melalui penetapan tarif/harga yang tepat guna menjamin konservasi air dan memperkuat kemampuan keuangan negara pengutang agar dapat membayar kembali utangnya.

        Biasanya orang akan menghemat penggunaan air jika mereka harus membayar untuk mendapatkan air tersebut. Jika harga/tarif berlangganan air terlalu rendah, maka pelanggan tidak akan menghargai nilai air, sehingga mereka akan cenderung menggunakan seenaknya dan membuang-buang air.

        Reformasi di sektor penyediaan air dan sanitasi juga dianjurkan, antara lain dengan memperbaiki sistem manajemennya, menetapkan aturan dan undang-undang, serta memikirkan kembali cara menyusun komponen tarif.

        Agar tarif langganan air terjangkau bagi semua orang, banyak negara yang menerapkan subsidi silang untuk membantu penduduk miskin dengan mengharuskan si kaya membayar lebih mahal dibanding pelanggan yang miskin.

        Dengan cara begitu, semua orang, kaya maupun miskin, dapat memperoleh air, tapi tentu saja tetap harus mengeluarkan uang alias tidak gratis.
(T.F001/B/P003) 28/02/:3 14:43
Oleh Fardah Assegaf, Jakarta, 28-FEB-2003 

No comments:

Post a Comment