Saturday, May 18, 1996

Pengurangan Emisi CO2 Jerman - Dari Nuklir Hingga Sepeda oleh Fardah

   Jakarta, 18/5/1996 (ANTARA) - Kembali ke sepeda! Begitulah kecenderungan penduduk Jerman sebagai salah satu upaya mereka membantu usaha mengurangi emisi karbon, penyebab utama pemanasan global (global warming).
        "Kami sengaja membuat jalan-jalan raya sempit agar penduduk enggan menggunakan mobil," ujar seorang pejabat kota Bonn kepada ANTARA di ibu kota Jerman tersebut baru-baru ini. 

        Jalur-jalur khusus bagi pemakai sepeda disediakan di sebagian besar jalan di Bonn. Pemandangan lalu-lalang pemakai sepeda bukan saja busa ditemui di Bonn, tapi juga di beberapa kota-kota besar seperti Berlin dan Munich. Mereka yang menggunakan sepeda tersebut termasuk orang muda maupun lanjut usia, dengan tujuan ke kampus, kantor maupun tempat perbelanjaan.
        Perbaikan pelayanan transportasi umum dengan memperhatikan ketepatan waktu dan kenyamanan serta potongan harga yang cukup besar bagi mereka yang membeli karcis bulanan atau tahunan bus maupun kereta api bawah tanah juga merupakan usaha Pemerintah Jerman untuk mengurangi emisi CO2, terutama yang berasal dari kendaraan-kendaraan pribadi.
        Kampanye untuk mengurangi pemakaian bahan bakar fosil, yang banyak menghasilkan emisi CO2, baik oleh kendaraan maupun industri, sedang giat-giatnya dilakukan masyarakat Jerman guna mengatasi masalah perubahan iklim. Bahkan, penghijauanpun dilaksanakan dengan serius di kota-kota besar seperti Berlin.
        Sebagai pengganti bahan bakar fosil, mereka antara lain mempromosikan penggunaan gas alam serta energi yang dapat diperbaharui terutama berkat berbagai temuan teknologi baru.
        Oleh karena, dari sektor energi, emisi CO2 menyumbang sekitar 80 persen bagi gas rumah kaca, yang menyebabkan peningkatan suhu laut dan intensitas kemarau, penyebaran penyakit serta perubahan produksi pertanian.
        Pada tahun 1990, emisi CO2 Jerman, termasuk mantan Jerman Timur, mencapai satu miliar ton, atau sekitar 32 persen dari emisi total di negara-negara anggota Uni Eropa. Selain emisi CO2, Jerman, yang memulai program "langit biru" sejak tahun 1968, juga berusaha menurunkan metana sebesar 48 persen dan nitrogen oksida 20 persen.

        Kegagalan
        Sejak KTT Bumi rupanya belum banyak kemajuan yang dicapai dalam upaya penurunan emisi CO2. Emisi karbon dunia, menutur Kantor Berita Reuter (17/5) diduga akan meningkat 54 persen di atas tingkat 1994 pada tahun 2015.
        Badan Informasi Energi Amerika Serikat (EIA) dalam penilaian jangka panjangya mengatakan, berdasarkan ramalannya bagi konsumsi energi, emisi karbon dunia akan meningkat sampai 9,4 miliar metrik ton dalam 20 tahun.
        EIA meramalkan bahwa tingkat emisi karbon dari negara-negara berkembang juga akan meningkat di tahun-tahun mendatang, hanya negara-negara di Eropa Timur dan bekas Uni Soviet yang emisinya akan lebih rendah dari tingkat pada tahun 1990 karena faktor kelesuan ekonomi.
        Pemerintah Jerman yang menjadi tuan rumah Konperensi Iklim PBB yang berlangsung di Berlin, 28 Maret-7 April 1995, telah berjanji untuk menurunkan tingkat emisi karbondioksida (CO2) sebesar 25 persen pada tahun 2005 dari tingkat emisi CO2 pada tahun 1990.
        Namun, nada pesimistis akan kemungkinan tercapainya target yang ditetapkan secara sukarela oleh Pemerintah Jerman tersebut dilontarkan oleh Dr. Marcel Seyppel, pakar strategi kebijakan lingkungan hidup di Departemen Lingkungan Hidup, Konservesi Alam dan Keselamatan Nuklir Jerman di Bonn baru-baru ini di depan sekelompok wartawan lingkungan hidup dari Asia dan Karibia.
        "Saya meragukan bila kami bisa mencapai target tersebut, karena dalam beberapa tahun terakhir tingkat emisi CO2 meningkat kembali," ujarnya kepada wartawan dari Indonesia, Jamaika, Thailand, Korea Selatan, Jepang, India dan Pakistan yang diundang oleh Pemerintah Jerman untuk melihat program lingkungan hidup di Munich, Dresden, Berlin dan Bonn, 1-16 Mei 1996.
        Menurutnya, emisi CO2 dari industri mengalami penurunan berkat peraturan-peraturan yang ketat maupun kesadaran pihak industri sendiri. Sebaliknya, masalah peningkatan emisi dari kendaraan bermotor masih belum terpecahkan, tambahnya.
        Minat rakyat Jerman untuk membeli mobil tidak menunjukkan penurunan, karena industri mobil di negara itu makin marak serta mobilitas penduduk juga makin meluas.
        Jerman kini sedang mengembangkan mobil yang menggunakan energi dari matahari dan hidrogen. Mobil masa depan yang ramah terhadap lingkungan itu diperkenalkan secara resmi Selasa (14/5) lalu.
        Dugaan akan gagalnya upaya pengurangan emisi CO2 seperti yang dijanjikan oleh negara-negara Uni Eropa (UE) pada KTT Bumi di Brazil pada tahun 1992 juga pernah diungkapkan oleh mingguan "The European" menjelang konperensi Berlin tahun lalu.
        Hanya Jerman, Belgia dan Inggris di antara 15 negara anggota UE yang dianggap berhasil "mendekati" target menstabilkan emisi CO2 pada tahun 2000 nanti menjadi setara pada tingkat emisi tahun 1990, menurut mingguan tersebut.

        Pajak energi
        Usaha penerapan pajak energi dan emisi CO2 dianggap cukup ampuh untuk menekan laju peningkatan gas buangan yang menimbulkan pencemaran udara tersebut. Namun, upaya ini masih mengalami jalan buntu karena penerapan pajak energi akan meningkatkan biaya pemakaian bahan bakar terutama oleh pihak industri.
        "Kami sulit untuk memaksakan pajak energi tersebut pada industri di Jerman karena hal itu busa mengganggu kemampuan kompetisi mereka di pasar internasional bila negara-negara Eropa lainnya belum siap melaksanakan pajak serupa," ujar Dr. Wolfgang Stinglwagner dari Divisi Perlindungan Lingkungan dan Iklim, Departemen Ekonomi, di Bonn.
        Belasan pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) yang dimiliki Jerman juga diandalkan untuk menggantikan pembangkit listrik yang menggunakan batu bara guna membantu menurunkan emisi CO2.
        Namun, PLTN yang bebas emisi CO2 dan biaya operasinya dianggap lebih murah dari proyek pembangkit listrik lainnya masih tidak popular di kalangan rakyat Jerman yang mengkhawatirkan kemungkinan terjadinya kebocoran radioaktif seperti di Chernobyl, mantan Uni Soviet, 10 tahun lalu.
        Masalah penanganan limbah nuklir yang sangat berbahaya juga merupakan salah satu faktor yang menyebabkan rakyat Jerman menentang PLTN, ujar Cordula Brendel dari Partai Hijau di Bonn.
        Selain isu penurunan emisi CO2, Konperensi Berlin juga membahas pelaksanaan kebijakan pembangunan berkelanjutan dan alih teknologi untuk menyelamatkan lingkungan hidup.
        Selain itu, Jerman --kota Bonn-- ditunjuk sebagai Sekretariat Konvensi Perubahan Iklim pada pertemuan di Berlin yang dihadiri oleh menteri lingkungan hidup serta delegasi dari 120 negara lebih tersebut.
        Kerangka Kerja Konvensi Perubahan Iklim (ECCC) yang merupakan bagian dari Agenda 21, hasil dari KTT Bumi di Rio de Jaeniro itu, antara lain mencantumkan bahwa kegiatan kerjasama saling melengkapi dapat dilakukan oleh negara industri (Utara) dan negara berkembang (Selatan) secara bilateral maupun multilateral.
        Menteri Negara Lingkungan Hidup Indonesia Sarwono Kusumaatmadja yang hadir pada pertemuan Berlin itu menyambut baik upaya kerjasama Utara-Selatan asal dilakukan tanpa tekanan.
        Berlin pernah mengungkapkan keinginan kerjasama di bidang lingkungan hidup termasuk masalah penanganan pencemaran udara dengan Jakarta.
        Menteri Negara Bagian Urusan Perlindungan Lingkungan Hidup dan Pembangunan Kota Dr Lutz Wicke dari Berlin ketika berkunjung ke Indonesia, akhir tahun lalu, menawarkan diri untuk berbagi pengalaman dalam penerapan katalisator gas buangan kendaraan bermotor dan konsumsi bahan bakar guna mengurangi emisi CO2.
        Tawaran semacam itu agaknya bisa segera dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh DKI Jakarta, karena hasil survei Badan Lingkungan Hidup Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNEP) pada 1996 menunjukkan bahwa Jakarta merupakan kota ketiga paling tinggi tigkat pencemaran udaranya di dunia ini. (T. FA/RI4/SP04/18/05/96 17:01/ re3)
Oleh Fardah Assegaf. Jakarta, 18 Mei 1996.

No comments:

Post a Comment