Sana’a, 3/7/1997 - Pasar Babul Yaman (Pintu
Gerbang Yaman) di Sana'a selalu penuh sesak dengan hilir mudik pria bersorban
dan besarung yang dihiasi Jambia, badik melengkung khas Yaman, serta para
wanita yang seluruh tubuh dan wajah mereka rapat tertutup kain hitam dan
terkadang hanya sepasang matanya yang tampak.
Suasana pasar yang terletak di
bagian kota tua itu hiruk pikuk dengan suara orang yang menjajakan jualan
mereka, seperti kemenyan (dupa), perhiasan perak, batu akik, pisau Jambia. Juga
kacang Arab dan tentu saja gat (juga disebut qat), daun "sirih" orang
Yaman yang terkenal.
Sejumlah pria yang menggenggam
tumpukan uang pecahan 50 dan 100 riyal, mata uang Yaman di samping Dinar, sibuk
menawarkan jasa pertukaran uang sehingga membuat suasana pasar makin ramai.
Karena penuh sesak, orang perlu
"berjuang" agar tidak bersenggolan dengan pengunjung lainnya di
pasar, yang berada di lorong-lorong kampung perumahan kuno di Sana'a, Yaman
bagian utara.
Babul Yaman, bagian kota tua Sana'a, yang berusia sekitar 2000 tahun telah masuk daftar Warisan Budaya Dunia UNESCO dan mendapat Penghargaan Arsitektur Internasional Aga Khan pada 1995 karena selain bangunan tuanya terawat baik, kehidupan perekonomian penduduknya juga bergairah.
Yaman, negara berbukit-bukit batu yang juga dikenal sebagai negeri Ratu Sheba, bisa menjadi sorga bagi wisatawan yang senang petualangan dan menikmati suasana abad lampau.
Negeri ini terdiri atas bukit-bukit batu berwarna coklat serta bangunan kuno berwarna kuning kecoklatan yang terbuat dari tanah liat bercampur jerami.
Dominasi warna tanah alami yang menyelimuti negeri ini, terutama di daerah pedesaan, serta bentuk rumah kuno mereka yang khas, membuat pemandangan di tempat itu seperti gambar di sebuah foto hitam putih yang sangat tua sehingga warnanya mulai kecoklatan.
Negeri yang pernah diperintah oleh Ratu Balgis pada zaman Kerajaan Sheba dan disebut-sebut dalam tiga Kitab Suci --Taurat, Injil, dan Alquran-- ini memang mempunyai peradaban yang amat kaya dan panjang.
Peninggalan Kerajaan Sheba masih bisa dinikmati di Mareb, bekas ibukota kerajaan tersebut, berupa pilar-pilar dan altar tempat Ratu Balgis konon mengorbankan manusia sebagai persembahan kepada dewa, puing-puing istananya, waduk penampungan air, dan tempat ibadah yang dibangun oleh Nabi Sulaiman.
Mareb, 172 km sebelah timur Sana'a, beberapa tahun terakhir menjadi sorotan media Barat karena kasus penculikan wisatawan khususnya dari Jerman dan Perancis oleh anggota suku setempat.
Sejauh ini belum terdengar khabar bahwa suku penculik tersebut membunuh atau melukai wisatawan yang mereka tawan. Wisatawan biasanya dilepas setelah beberapa hari atau bulan kemudian bila para suku penculik merasa sudah mendapat cukup perhatian dari pemerintah Yaman.
Biasanya motifasi mereka adalah agar diperhatikan pemerintah karena mereka membutuhkan bantuan pangan setelah daerah mereka tertimpa bencana. Ada juga penculik yang meminta tebusan uang untuk pembebasan wisatawan asing yang mereka tawan sementara.
Konon menurut penuturan beberapa wisatawan yang pernah ditawan, para penculik memperlakukan mereka dengan baik dan bahkan kadangkala mengajak mereka jalan-jalan melihat peninggalan lainnya dari Ratu Balgis yang selama ini belum didatangi oleh wisatawan. Tak jarang pula mereka mendapat tanda mata benda-benda bersejarah dari penculik sebelum dilepas.
Tegang
Mareb memang tempat untuk berpetualang. Memasuki wilayah ini serasa kembali pada zaman "Wild Wild West". Rombongan wartawan Indonesia yang diundang oleh perusahaan penerbangan Yaman, Yamania Air, untuk berkunjung ke negeri itu, mengalami bagaimana "tegangnya" perjalanan ke Mareb.
Sebetulnya dalam program acara yang diatur oleh Yemenia, lawatan ke Mareb tidak termasuk. Hal ini mungkin karena alasan keamanan. Namun atas budi baik Dubes Indonesia untuk Yaman Ibnu Ash Djamil Siregar, rombongan bisa berangkat dengan mobil KBRI dan dikawal oleh dua tentara Yaman yang biasa ditempatkan di KBRI.
Sehari sebelumnya, pihak KBRI telah melaporkan ke kantor polisi tentang rencana perjalanan tersebut. "Semuanya lancar, hanya polisi pesan agar jangan berhenti di sembarang pos penjagaan selama perjalanan, kecuali di tiga pos yang resmi," ujar Mustafa Lutfi, lokal staf KBRI yang turut mendampingi rombongan.
Di pos penjagaan pertama setelah keluar dari Sana'a, suasana beda mulai terasa karena tampak begitu banyak orang sipil yang memegang senjata api, terutama mereka yang akan menitipkan senjatanya di pos sebelum ke Sana'a.
Selama perjalanan yang memakan waktu lebih dari dua jam, ternyata terdapat lebih dari lima pos penjagaan, namun dapat dilalui dengan lancar dan tanpa banyak masalah walau sopir terpaksa harus berhenti untuk melapor. Anehnya, justru dua tentara pengawal rombongan tampak tegang.
Seperti halnya jalan penghubung antarkota lainnya di Yaman, jalan antara Sana'a dan Mareb beraspal halus, berkelok-kelok, dan naik-turun bukit batu. Sementara, biasanya jalan dalam kota-kota kecil seperti Tarim, kota pelajar yang terletak di Hadramaut, Yaman selatan, tak beraspal dan selalu berdebu.
Ketika rombongan berhenti di sebuah restoran sederhana di Mareb, suasana "tak lazim" makin terasa karena mereka yang makan di restoran tersebut semuanya membawa senjata api, bahkan lebih dari satu.
Di Yaman, khususnya bagian utara, walau sejak beberapa tahun terakhir ini pemerintah telah melarang orang membawa senja api di tempat umum, para pria Yaman hingga kini masih biasa membawa senjata bila pergi.
Sudah menjadi tradisi bahwa para pria umumnya membawa Jambia, badik melengkuk khas Yaman. Senjata merupakan "hiasan dan kebanggan" mereka. Namun, sejumlah pria bersorban yang berada di restoran Mareb tersebut kebanyakan "berhiaskan" Jambia di depan, dua pistol masing-masing di pinggang kiri dan kanan dan senjata AKA di punggung. Bahkan tampak beberapa anak di bawah umur yang juga membawa senjata.
Mereka dengan santai dan satu kaki di atas kursi bersama-sama menyantap makanan yang dihidangkan dalam satu baki besar. Walau wajah mereka tampak keras dan bermata tajam, mereka samasekali tidak mengganggu rombongan KBRI.
Semakin mendekati tempat peninggalan Ratu Balgis, pemandangan alam tampak lebih hijau, terutama dengan adanya pepohonan jeruk. Mareb memang terkenal sebagai wilayah yang subur.
Setelah jeprat-jepret peninggalan Ratu Balgis yang untuk dapat masuk tak dipungut biaya tersebut, rombongan balik ke Sana'a. Sekali lagi mobil harus berhenti sejenak di semua pos penjagaan. Begitu melewati pos yang terakhir, rasanya baru bisa bernafas lega. Rupanya para penculik Yaman memang "diskriminatif" karena mereka hanya memilih wisatawan bule yang kaya, terutama dari Jerman dan Perancis.
Yaman juga merupakan tempat beberapa Nabi. Di Provinsi Hadramaut, Yaman bagian selatan, misalnya, terdapat makam Nabi Saleh dan Nabi Hud. Hadramaut, pusat peradaban kuno negeri ini, dihuni oleh manusia sejak 700.000 tahun lalu.
Shibam, bekas ibukota Hadramaut, dikenal
sebagai "Manhattan Padang Pasir" karena kota kecil ini memiliki
sekitar 500 "gedung pencakar langit" yang berusia sekitar 800 tahun namun masih
tetap bisa dihuni manusia hingga kini.
Yaman, yang masih mempertahankan peradaban lampau, kini merupakan bagian dunia yang paling kuno yang tetap bertahan.
Berkunjung ke Yaman seakan-akan melakukan perjalanan mundur dengan berkendaraan mesin waktu yang membawa balik wisatawan ke beberapa ribu tahun ke belakang. Pesona ini yang memikat wisatawan Eropa khususnya untuk terus datang ke Yaman dan tak gentar menghadapi ancaman penculik.
Yaman, yang masih mempertahankan peradaban lampau, kini merupakan bagian dunia yang paling kuno yang tetap bertahan.
Berkunjung ke Yaman seakan-akan melakukan perjalanan mundur dengan berkendaraan mesin waktu yang membawa balik wisatawan ke beberapa ribu tahun ke belakang. Pesona ini yang memikat wisatawan Eropa khususnya untuk terus datang ke Yaman dan tak gentar menghadapi ancaman penculik.
Oleh: Fardah Assegaf
Keterangan foto: seorang anak yang menjaga toko di Pasar Babul Yaman, Sana'a, sambil mengunya daun gat (qat atau khat). foto: Fardah Assegaf, Sana'a 1997.
Keterangan foto: seorang anak yang menjaga toko di Pasar Babul Yaman, Sana'a, sambil mengunya daun gat (qat atau khat). foto: Fardah Assegaf, Sana'a 1997.
No comments:
Post a Comment