Cuaca pada akhir bulan Februari lalu
sangat sempurna bagi wisatawan yang sedang melewat ke Aswan, sebuah kota kecil
di Mesir bagian selatan. Langit biru di atas Aswan begitu jernih, suhu sekitar
25 derajat Celsius cukup sejuk ditambah lagi dengan angin sepoi-sepoi yang
melewati air biru sungai Nil.
Banyak
wisatawan asing yang berjemur di atas kapal pesiar yang berjejer di sepanjang
Sungai Nil sambil menikmati pemandangan pulau-pulau kecil yang hijau serta
birunya air sungai.
Dari
sela-sela hijaunya dedaunan pohon, tampak bangunan-bangunan kuno dan beberapa
puing kuil yang berusia ratusan bahkan ribuan tahun di pulau kecil, tepian sungai Nil.
Yang
tak kalah indahnya untuk dinikmati dari pinggiran sungai Nil di Aswan ini
adalah pemandangan saat terbenamnya matahari. Bias warna-warni sinar matahari
yang menghiasi langit biru dipadu dengan alam yang asri, iringan rombongan
burung-burung yang pulang ke peraduannya, serta suasana yang hening terasa
sangat romantis.
Berbeda dengan penduduk di Kairo
yang kebanyakan sangat putih kulitnya, maka mayoritas penduduk Aswan, yang
terletak di bagian selatan Mesir, berkulit sawo matang atau hitam, mirip dengan
tetangga mereka di Sudan.
“Banyak
dari kami yang mempunyai keluarga di Sudan,” kata Mohamad Husin, petugas kantor
penerangan daerah Aswan yang mendampingi rombongan wartawan Indonesia sepanjang
kunjungan ke Aswan.
Di
banding dengan Kairo yang selalu berdebu, kota Aswan yang berpenduduk sekitar
satu juta orang ini, berudara cukup bersih dan lebih hangat suhunya. Kota yang
terkenal karena bendungannya ini menerima kunjungan sekitar tiga juta wisatawan
terutama dari Eropa setiap tahunnya.
“Februari
hingga April merupakan bulan-bulan puncak kedatangan wisatawan asing. Pada
musim panas, yang bisa mencapai 40 derajat Celsius, jumlah mereka yang kemari
sangat sedikit,” ujar Husin kepada wartawan Indonesian Observer, Capital dan
ANTARA yang berkunjung ke Mesir atas undangan Kepala Bidang Penerangan Kedubes
Mesir, Tala’at Lotfy.
Pariwisata
merupakan sumber utama penghasilan daerah ini dan rakyatnya yang masih banyak
berpakaian tradisional, sangat sadar akan aset ini sehingga mereka pelihara
betul keutuhan alam dan warisan sejarah meraka.
Pasar
tradisional Aswan yang hiruk-pikuk dan buka hingga tengah malam, sangat ramai
menjajakan berbagai rempah-rempah serta kerajinan Nubia, terutama anyaman
berwarna-warni serta serta lukisan dari papirus.
Aswan
memiliki lebih dari 200 kapal pesiar yang menawarkan paket wisata beragam
antara lain ke Luxor dan Kairo dengan lama perjalanan sekitar dua minggu.
“Sepanjang
pelayaran menelusuri sungai Nil, mereka berhenti beberapa kali untuk menikmati
warisan budaya seperti kuil Abu Simbel yang dibangun oleh Raja Ramses II yang
hidup pada sekitar tahun 1300 sebelum masehi,” ujar Husin, yang berkulit sawo
matang itu.
Di
Aswan, wisatawan dapat menyeberang dengan perahu menuju Pulau Elephantic dimana
terdapat perkampungan nelayan dan museum, serta Pulau Agilkia untuk melihat
kuil yang dibangun untuk Isis yang semula dibangun di Pulau Philae dibangun
pada tahun 350 sebelum masehi.
UNESCO
sangat berjasa dalam menyelamatkan Kuil Isis atau Philae dan Abu Simbel dari bahaya
tenggelam pada saat pembuatan bendungan Aswan dan danau buatan yang diberi nama
Danau Nasser.
Operasi
penyelamatan puluhan peninggalam arkeologi oleh UNESCO itu berjalan dari tahun
1960 hingga 1980, antara lain dengan memindahkan Kuil Simbel yang di bangun di
bukit batu serta Kuil Isis di Pulau Philae ke pulau-pulau kecil terdekat
lainnya.
Nubia
Selama
ini Aswan lebih terkenal secara internasional karena bendungannya yang luar
biasa besarnya, bahkan nomer dua terbesar di dunia setelah bendungan di Rusia.
Pada
zaman dahulu daerah Aswan serta sebagian wilayah Sudan dikenal sebagai daerah
bangsa Nubia. Sejak pemerintahan para fir’aun
Mesir, Nubia dipandang sebagai daerah ‘pintu masuk’ yang strategis ke
Afrika.
Menurut
ceritera, nama Nubia berasal dari kata kuno Mesir ‘nbu’ yang berarti ‘emas’
karena Nubia terkenal akan tambang emasnya. Maka tak heran jika banyak
diketemukan perhiasan-perhiasan di tubuh mumi yang berusia ribuan tahun.
Banyak
warisan budaya Nubia, termasuk dari zaman pra-sejarah, yang tersimpan baik di
Museum Nubia, yang dibangun di kota Aswan atas kerjasama Pemerintah Mesir dan
UNESCO.
“Museum
yang luasnya 50.000 m2 ini banyak menyimpan benda-benda yang diselamatkan dari
ancaman tenggelam akibat pembangunan bendungan Aswan dan Danau Nasser,” ujar
Husein.
Benda-benda
yang dipamerkan antara lain dari zaman pra-sajarah 9000 tahun sebelum masehi,
zaman Nubia dimasa Firaun, kerajaan Meroe, Romawi (sekitar 30 sebelum Masehi),
Kristen, Islam hingga di zaman modern.
Tak
ketinggalan, Museum Nubia, sebagai mana kebanyakan museum di Mesir lainnya,
juga menyimpan mumi yang berusia ribuan tahun.
No comments:
Post a Comment