Jakarta, 21 Mei 2003 (ANTARA) - Seorang wanita tua di sebuah desa di
Punjab, Pakistan, mengungkapkan kegembiraannya bahwa kini keluarganya
telah mendapat suplai air bersih yang memadai sehingga anak dan cucu
wanitanya tidak perlu lagi menderita seperti halnya dia sewaktu muda.
Nenek itu mengeluh bahwa kakinya hingga kini masih cacat akibat terjatuh ketika membawa beban air yang berat dari sebuah sungai yang terletak beberapa kilometer dari rumahnya.
Nenek itu mengeluh bahwa kakinya hingga kini masih cacat akibat terjatuh ketika membawa beban air yang berat dari sebuah sungai yang terletak beberapa kilometer dari rumahnya.
Bagi kebanyakan rumah tangga penduduk miskin di Asia dan Afrika yang belum dijangkau oleh pelayanan suplai air bersih, maka urusan untuk memperoleh air bersih bagi keperluan memasak dan minum, termasuk membuat teh untuk kaum pria, menjadi tanggung jawab kaum wanita.
Sering kali air bersih tersebut harus diambil dari sungai atau mata air yang sangat jauh sehingga menghabiskan waktu dan tenaga para wanita tersebut yang seharusnya bisa digunakan untuk kegiatan produktif lainnya.
Sebuah kisah sukses mengenai hubungan tersedianya pelayanan suplai air bersih dan perbaikan nasib penduduk miskin, terutama kaum ibu, disampaikan oleh Shakeel Khan dari Proyek Suplai Air Bersih Pedesaan di Provinsi Punjab, Pakistan, di depan peserta Forum Air Sedunia ke-3 di Kyoto, Jepang, Maret 2003.
"Setelah penduduk desa di Punjab tersebut terjangkau pelayanan suplai air bersih, jumlah anak yang masuk sekolah naik 70 hingga 90 persen, jumlah anak-anak yang meninggal dunia karena diare turun hingga 90 persen, dan pendapatan rumah tangga mereka naik sekitar 25 persen," ujar Shakeel.
Dia menjelaskan bahwa sebelum air bersih masuk ke desa tersebut, banyak wanita, termasuk anak-anak, harus berjalan selama dua hingga enam jam sehari untuk mengambil air di sungai yang jauh, sehingga kesehatan mereka sangat buruk dan tidak punya waktu untuk usaha lain atau sekolah.
Setelah pelayanan air bersih masuk ke rumah-rumah mereka, waktu yang semula terbuang untuk mengambil air, kini dapat dipergunakan oleh para ibu-ibu untuk kegiatan-kegiatan yang dapat menghasilkan uang, seperti menjahit, merajut dan membuat makanan untuk dijual.
Suplai air bersih yang memadai bagi penduduk miskin harus diberi prioritas utama karena dengan adanya air tersebut dapat membuka peluang-peluang usaha rumah tangga, menurut Prof. John Soussan, salah seorang nara sumber dari Bank Pembangunan Asia (ADB) yang mengkoordinir Progam Inisiatif Air dan Kemiskinan pada Forum tersebut.
"Rumah tangga yang mendapat suplai air bersih dapat memanfaatkan air tersebut untuk usaha yang produktif, misalnya berkebun sayuran kecil-kecilan, membuka usaha mencuci pakaian atau salon mencuci rambut," kata Prof. John Soussan, yang juga bekerja di Lembaga Lingkungan Hidup Stockholm di Inggeris.
Dia memberikan sebuah contoh proyek pelayanan air bagi penduduk miskin yang dilakukan sebuah LSM di Afrika Selatan.
"Karena air bersih tersebut dapat dimanfaatkan untuk usaha yang produktif, maka pendapatan mereka meningkat dua kali lipat dari keadaan semula ketika mereka belum terjangkau oleh pelayanan air bersih tersebut," katanya kepada pers di Kyoto.
Lebih semiliar
Di seluruh dunia terdapat sekitar 1,1 miliar orang (63 persen diantaranya di Asia) tidak mempunyai akses untuk mendapatkan suplai air bersih yang memadai, dan 2,4 miliar orang (80 persen diantaranya di Asia) tidak mempunyai fasilitas sanitasi yang cukup.
Buletin "Poverty and Water Security" yang diterbitkan oleh Bank Pembangunan Asia (ADB) mengatakan bahwa sekitar 1,1 miliar orang hidup dengan penghasilan kurang dari 1 dolar AS (sekitar Rp8.500) per hari, dan 2,8 miliar orang lainnya bisa bertahan hidup dengan uang kurang dari dua dolar per hari.
Lebih dari 90 persen penduduk yang paling miskin tersebut tinggal di Asia Selatan dan Afrika.
Program Inisiatif Air dan Kemiskinan yang dikoordinasikan oleh ADB menetapkan enam kegiatan prioritas, yaitu menjalankan pengelolaan air yang menguntungkan bagi penduduk miskin, dan membuka lebar akses bagi masyarakat luas untuk mendapatkan pelayanan air bersih.
Selain itu, memperbaiki tingkat ekonomi dan kualitas hidup penduduk miskin, meningkatkan pemberdayaan dan kemampuan masyarakat, mencegah dan meminimalisir dampak bencana alam seperti banjir dan kemarau panjang, serta mengelola lingkungan hidup yang baik.
Menurut ADB, ada enam faktor kunci untuk membantu orang miskin agar bisa mendapat layanan air yang memadai, antara lain memperbaiki kebijakan pemerintah mengenai air, dan memperbesar peluang bagi si miskin untuk mendapatkan air bersih.
Hal lainnya, menurut ADB, adalah meningkatkan investasi di bidang pelayanan suplai air bersih sehingga bisa menjangkau penduduk miskin. Sering kali masyarakat tidak memperoleh air yang cukup bukan karena kelangkaan air di daerah itu, tapi lantaran tidak adanya prasarana yang cukup untuk mendistribusikan air hingga ke rumah-rumah.
Presiden ADB, Tadao Chino, dalam pidatonya pada Pertemuan Air dan Kemiskinan dalam Forum di Jepang itu menyayangkan bahwa potensi investasi dalam pembangunan prasarana suplai air bersih sebagai alat untuk mengurangi kemiskinan dan mendorong pembangunan berkelanjutan belum sepenuhnya disadari oleh banyak orang.
Sementara itu, Wouter T. Linklaen Arriens selaku ahli sumber daya air dari ADB dalam presentasinya pada lokakarya jurnalistik di Kamboja, Februari 2003, mengatakan bahwa dua pertiga penduduk dunia akan mengalami kesulitan mendapatkan air pada tahun 2025 mendatang.
Ia mengemukakan pula, lebih dari satu miliar orang akan kekurangan air bersih. Di benua Asia saja, 40 persen penduduk miskin di perkotaan belum mendapat layanan air ledeng. Hampir dua pertiga penduduk termiskin dunia tinggal di wilayah Asia dan Pasifik dan suplai air bersih merupakan masalah yang sangat serius.
Namun ironisnya, sejumlah negara berkembang, yang sedang memacu Program Pemberantasan Kemiskinan, tidak memasukkan masalah pengadaan air dalam strategi program mereka.
Hal itu merupakan kelemahan para pakar yang menangani masalah air, karena mereka sering kali bicara soal air hanya dengan rekan-rekan seprofesi. Masalah air sering ditangani secara sepihak oleh masing-masing bidang dan kurang koordinasi dengan pihak-pihak luar yang terkait, kata Arriens.
Komitmen akses
KTT Pembangunan Berkelanjutan di Johannesburg, September 2002, yang dihadiri oleh puluhan kepala negara, termasuk Presiden Megawati Soekarnoputri, membuat komitmen untuk mengurangi separuh jumlah penduduk yang tidak mendapatkan akses air bersih dan sanitasi pada tahun 2015, dan akan mewujudkan tersedianya air bersih bagi semua orang pada tahun 2025.
Konperensi tersebut menegaskan juga bahwa perang melawan kemiskinan merupakan tantangan terberat dunia saat ini, dan hal itu tak dapat dipisahkan dari upaya untuk mencapai pembangungan berkelanjutan, terutama di negara-negara berkembang.
Namun, menurut Jan Pronk yang mantan Menteri Kerjasama Pembangunan Belanda, sudah banyak dibuat janji-janji dan komitmen untuk membantu penduduk miskin dan mengurangi jumlah kemiskinan sejak puluhan tahun terakhir, tapi hingga kini janji-janji tersebut belum terwujud.
"Janji tinggal janji! Globalisasi merupakan salah satu faktor penyebab gagalnya mewujudkan janji dan komitmen membantu penduduk miskin tersebut," tegas Jan Pronk dari Dewan Kerjasama Sanitasi dan Suplai Air pada sesi diskusi tentang "Air dan Kemiskinan" di Forum Air Sedunia ke-3, di Kyoto itu.
Menurut Pronk, globalisasi telah menghambat penduduk miskin untuk mendapatkan hak-hak mereka yang mendasar, seperti air bersih, dan pekerjaan.
"Karena globalisasi lebih mementingkan penduduk kelas menengah, sehingga penduduk miskin tersisih dari agenda-agenda penting. Globalisasi juga telah melindas prinsip pembangunan berkelanjutan," katanya.
Pronk mengimbau, agar forum yang diselenggarakan oleh Dewan Air Sedunia (World Water Council) dan Pemerintah Jepang itu dapat memperkuat komitmen untuk segera melakukan tindakan nyata dengan mempelajari dan mencontoh berbagai pengalaman serta kisah sukses yang ada.
Kata tindakan nyata (concrete actions) berulang kali didengungkan dalam forum selama seminggu tersebut.
Waktu lah yang akan membuktikan apakah ada implementasi untuk menindaklanjuti janji dan komitmen yang disampaikan oleh lebih dari 100 menteri, termasuk Menteri Pemukiman dan Prasarana Wilayah (Kimpraswil) Indonesia, yang menghadiri Forum itu, atau janji-janji tersebut masih tetap tidak beranjak dari atas kertas, seperti halnya banyak janji sebelumnya.
Oleh: Fardah Assegaf. Jakarta, 21 Mei 2003
No comments:
Post a Comment