Mungkin
hanya sedikit orang Indonesia yang tahu bahwa lebih dari 300 tahun yang lalu,
pernah terjadi kesepakatan pertukaran Pulau Run, salah satu pulau di Kepulauan
Banda, Maluku, dengan Manhattan, yang kini terletak di jantung kota New York,
Amerika Serikat.
Di sebuah media yang bernama “The
New Yorker”, John Seabrook menceriterakan kembali mengenai perjanjian yang
dikenal dengan sebutan “The Treaty of Breda” itu dalam tulisannya yang sangat
menarik yang berjudul Letter from Indonesia – Soldiers and Spice (Surat
dari Indonesia: Tentara dan Rempah).
Kesepakatan Breda ditandatangani oleh
Belanda dan Inggeris pada tahun 1667. John Seabrook menulis bahwa pada tahun
1626, seorang Belanda yang bernama Peter Minuit “membeli” Manhattan dari Suku
Indian, penduduk asli Amerika. Orang Belanda itu “membayar” Manhattan dengan
manik-manik senilai 24 dolar AS.
“Transaksi”
wilayah Manhattan ini dianggap sebagai “penipuan” besar yang pertama terjadi di
New York. Seperti yang kita sering lihat di film-film Amerika yang menceriterakan
perjuangan suku Indian zaman dahulu melawan pendatang baru dari Eropa, tanah
merupakan hal yang sangat sakral bagi suku Indian, sehingga tidak mungkin
diperjual belikan apa lagi dengan orang asing.
John
Seabrook pertama kali mendengar kisah pertukaran wilayah Manhattan, yang duluh
dinamakan “Amsterdam Baru” oleh Belanda, dengan Pulau Run, salah satu pulau di
Banda yang ketika itu dikuasai oleh Inggeris, dari guruh sejarahnya di SMP.
Ia
teringat kembali kisah kesepakatan Breda itu ketika ia membaca buku karangan
Giles Milton yang berjudul “Nathaniel’s Nutmeg” yang menceriterakan
tentang perundingan antara Belanda dan Inggeris yang akhirnya menghasilkan
“pertukaran” wilayah tersebut. Konon kabarnya, dua negera penjajah ini memang
cukup banyak melakukan “pertukaran” wilayah yang tentu saja sebenarnya bukan
milik mereka sendiri, melainkan tanah yang mereka rebut dari bangsa lain.
Pulau
Run pasti mempunyai sesuatu yang sangat istimewa sehingga Belanda rela
“melepas” Manhattan untuk “mendapatkan” pulau kecil dan terpecil di Laut Banda
itu. Adalah seorang pengelana Italia yang bernama Ludovico di Varthema yang
pertama mengungkapkan “kekayaan” Pulau Run, yaitu biji pala.
Varthema
meninggalkan Venisia menuju ke dunia Timur pada tahun 1502, dan kembali dari
pengembaraannya enam tahun kemudian. Pada tahun 1510, ia menerbitkan bukunya
yang mengisahkan pengalamannya mengunjungi dunia Timur, termasuk beberapa
tempat suci umat Islam. Buku tersebut banyak menarik perhatian mereka yang
berminat mengenai masalah agama maupun yang ingin mengejar harta.
Menurut
catatan sejarah, Varthema adalah orang Barat pertama yang menggambarkan bentuk
pohon pala, yang ia lihat tumbuh di Banda, bahkan pada saat itu dipercaya
sebagai satu-satunya wilayah di dunia dimana pohon pala tumbuh. Biji Pala
berperan sangat penting pada awal sejarah kolonialisme, karena rempah-rempah
tersebut dianggap komoditi yang paling berharga nilainya setelah perak dan
emas.
Rempah
yang pada zaman duluh sangat langka tersebut banyak dicari orang karena
dipercaya berhasiat untuk memberi rasa dan mengawetkan makanan, dan bahkan
dapat melawan beberapa penyakit tertentu. Maka tak heran jika negara-negara
penjajah dari Eropa, seperti Portugis, Belanda, Inggeris dan Sepanyol, bersaing
untuk menguasai perdagangan pala, serta rempah-rempah lainnya seperti lada,
kayu manis, dan cengkeh.
Pada
awal abad ke-17, harga pala yang dibeli dengan sangat murah di Banda dapat
dijual kembali di Eropa dengan harga berlipat ganda hingga setinggi 60.000
persen lebih mahal dari harga pembelian di Banda. Karena itu rumah yang berbau
pala, tercium juga seperti bau uang bagi orang Eropa.
Pada
Abad Pertengahan, orang Eropa memperoleh pala dari pedagang China, Arab dan
Melayu, melalui jalur Teluk Persia, laut Mediteriane kemudian ke Venesia.
Namun, setelah jatuhnya kekaisaran Konstantinopel ke tangan Turki pada tahun
1453, jalur perdagangan pala tersebut terputus, sehingga pelaut Eropa terpaksa
harus mencari sendiri melalui jalur laut.
Dalam
upaya pencarian rempah tersebut lah maka “terdampar” Vasco da Gama di Tanjung
Harapan, dan kemudian memasuki Lautan Hindia hingga ke daratan India pada tahun
1498. Begitu pula dengan Christopher Columbus yang berlayar ke arah yang
berlawanan dengan harapan yang sama, hingga ia “menemukan” Benua Amerika.
Buku
Varthema yang menceriterakan tentang pala tersebut dibaca oleh Afonso de
Albuquerque, laksamana Portugis, penjajah Eropa pertama yang mengklaim
menguasai pelabuhan dagang di Malaka dari Sultan Mahmud, pada tahun 1511.
Afonso lalu bergegas mengirim armadanya menuju ke Banda. Ketika pelautnya masih
berada di lautan yang berjarak sekitar 15 km dari daratan Banda, mereka merasa
sudah dapat mencium bau pala yang dibawa oleh angin.
Begitu
tiba di daratan Banda, pelaut Portugis tersebut mengisi kapal mereka dengan
biji dan buah pala – lalu membawa muatan tersebut ke Seville, sebuah kota
dagang yang cantik di Sepanyol, dan menjualnya dengan harga yang sangat tinggi
sehingga mereka menjadi kaya raya. Penjajah Portugis menguasai Banda dari tahun
1511 hingga awal abad ke-17, ketika diambil alih oleh Belanda.
Namun
pada waktu yang hampir bersamaan, Inggeris berhasil merebut dua pulau kecil di
Kepulauan Banda, yaitu Ai dan Run, yang lalu menjadi dua daerah pertama yang
menjadi bagian dari jajahan Kerajaan Inggeris. Karena itu gelar penuh Raja
James I pada waktu itu adalah Raja Inggeris, Skotlandia, Irlandia, Perancis,
Puloway dan Puloroon. Tapi akhirnya Inggeris memutuskan untuk melepaskan
dua pulau kecil itu ke pihak Belanda melalui Kesepakatan Breda, karena ia ingin
lebih berkonsentrasi pada daerah jajahannya di Semenanjung Malaka.
Melalui
VOC, Belanda memonopoli perdagangan rempah-rempah, kopi dan teh, antara lain
dengan menetapkan harga serta memperbudak pekerja perkebunan, bahkan
menyingkarkan penduduk asli yang dianggap menentang. Seorang gubernur jenderal
Belanda yang sangat kejam yang bernama Jan Pieterszoon Coen membunuh 44 tokoh
masyarakat Banda pada tahun 1621, menyingkirkan sejumlah penduduk asli ke luar
Banda, serta membawa masuk pekerja dari luar pulau untuk diperbudak di
perkebunan pala.
Menurut
John Seabrook, Des Alwi, salah seorang tokoh masyarakat Banda, pernah
mengusulkan agar dijalin kerjasama kota kembar antara Pulau Run dengan
Manhattan untuk mengenang sejarah “pertukaran” wilayah yang unik tersebut.
Bahkan sebuah surat telah dilayangkan kepada Walikota New York, tapi hingga
kini tidak pernah dibalas.
Walau
pala tidak lagi menjadi komoditi berharga yang diperebutkan kini, Kepulauan
Banda masih menyimpan kekayaan yang luar biasa berupa sumber daya alam yang
berlimpah serta keindahan alam, khususnya pantai dan lautnya yang masih bersih.
Kekayaan dan keindahan keragaman hayati laut Banda, berupa berbagai jenis ikan
dan terumbu karang, sangat luar biasa berlimpah. Karena alamnya ini lah maka
Banda telah diusulkan untuk masuk dalam daftar situs Warisan Alam Dunia yang
dikelola oleh UNESCO (Badan PBB untuk Pendidikan, Ilmu Pengetahuan dan Budaya).
Bila Banda menjadi terkenal di seluruh dunia karena ekowisatanya, maka hal ini
akan menjadi “modal” yang berharga bagi daerah otonomi Maluku kelak.
(Sumber:
The New Yorker, Letter from Indonesia – Soldiers and Spice oleh John
Seabrook )
No comments:
Post a Comment