Sunday, December 9, 2007

PULAU RUN PERNAH “DITUKAR” DENGAN MANHATTAN



Mungkin hanya sedikit orang Indonesia yang tahu bahwa lebih dari 300 tahun yang lalu, pernah terjadi kesepakatan pertukaran Pulau Run, salah satu pulau di Kepulauan Banda, Maluku, dengan Manhattan, yang kini terletak di jantung kota New York, Amerika Serikat.
          Di sebuah media yang bernama “The New Yorker”, John Seabrook menceriterakan kembali mengenai perjanjian yang dikenal dengan sebutan “The Treaty of Breda” itu dalam tulisannya yang sangat menarik yang berjudul Letter from IndonesiaSoldiers and Spice (Surat dari Indonesia: Tentara dan Rempah).

          Kesepakatan Breda ditandatangani oleh Belanda dan Inggeris pada tahun 1667. John Seabrook menulis bahwa pada tahun 1626, seorang Belanda yang bernama Peter Minuit “membeli” Manhattan dari Suku Indian, penduduk asli Amerika. Orang Belanda itu “membayar” Manhattan dengan manik-manik senilai 24 dolar AS.
“Transaksi” wilayah Manhattan ini dianggap sebagai “penipuan” besar yang pertama terjadi di New York. Seperti yang kita sering lihat di film-film Amerika yang menceriterakan perjuangan suku Indian zaman dahulu melawan pendatang baru dari Eropa, tanah merupakan hal yang sangat sakral bagi suku Indian, sehingga tidak mungkin diperjual belikan apa lagi dengan orang asing.
John Seabrook pertama kali mendengar kisah pertukaran wilayah Manhattan, yang duluh dinamakan “Amsterdam Baru” oleh Belanda, dengan Pulau Run, salah satu pulau di Banda yang ketika itu dikuasai oleh Inggeris, dari guruh sejarahnya di SMP.
Ia teringat kembali kisah kesepakatan Breda itu ketika ia membaca buku karangan Giles Milton yang berjudul “Nathaniel’s Nutmeg” yang menceriterakan tentang perundingan antara Belanda dan Inggeris yang akhirnya menghasilkan “pertukaran” wilayah tersebut. Konon kabarnya, dua negera penjajah ini memang cukup banyak melakukan “pertukaran” wilayah yang tentu saja sebenarnya bukan milik mereka sendiri, melainkan tanah yang mereka rebut dari bangsa lain.
Pulau Run pasti mempunyai sesuatu yang sangat istimewa sehingga Belanda rela “melepas” Manhattan untuk “mendapatkan” pulau kecil dan terpecil di Laut Banda itu. Adalah seorang pengelana Italia yang bernama Ludovico di Varthema yang pertama mengungkapkan “kekayaan” Pulau Run, yaitu biji pala.
Varthema meninggalkan Venisia menuju ke dunia Timur pada tahun 1502, dan kembali dari pengembaraannya enam tahun kemudian. Pada tahun 1510, ia menerbitkan bukunya yang mengisahkan pengalamannya mengunjungi dunia Timur, termasuk beberapa tempat suci umat Islam. Buku tersebut banyak menarik perhatian mereka yang berminat mengenai masalah agama maupun yang ingin mengejar harta.
Menurut catatan sejarah, Varthema adalah orang Barat pertama yang menggambarkan bentuk pohon pala, yang ia lihat tumbuh di Banda, bahkan pada saat itu dipercaya sebagai satu-satunya wilayah di dunia dimana pohon pala tumbuh. Biji Pala berperan sangat penting pada awal sejarah kolonialisme, karena rempah-rempah tersebut dianggap komoditi yang paling berharga nilainya setelah perak dan emas.
Rempah yang pada zaman duluh sangat langka tersebut banyak dicari orang karena dipercaya berhasiat untuk memberi rasa dan mengawetkan makanan, dan bahkan dapat melawan beberapa penyakit tertentu. Maka tak heran jika negara-negara penjajah dari Eropa, seperti Portugis, Belanda, Inggeris dan Sepanyol, bersaing untuk menguasai perdagangan pala, serta rempah-rempah lainnya seperti lada, kayu manis, dan cengkeh.
Pada awal abad ke-17, harga pala yang dibeli dengan sangat murah di Banda dapat dijual kembali di Eropa dengan harga berlipat ganda hingga setinggi 60.000 persen lebih mahal dari harga pembelian di Banda. Karena itu rumah yang berbau pala, tercium juga seperti bau uang bagi orang Eropa.
Pada Abad Pertengahan, orang Eropa memperoleh pala dari pedagang China, Arab dan Melayu, melalui jalur Teluk Persia, laut Mediteriane kemudian ke Venesia. Namun, setelah jatuhnya kekaisaran Konstantinopel ke tangan Turki pada tahun 1453, jalur perdagangan pala tersebut terputus, sehingga pelaut Eropa terpaksa harus mencari sendiri melalui jalur laut.
Dalam upaya pencarian rempah tersebut lah maka “terdampar” Vasco da Gama di Tanjung Harapan, dan kemudian memasuki Lautan Hindia hingga ke daratan India pada tahun 1498. Begitu pula dengan Christopher Columbus yang berlayar ke arah yang berlawanan dengan harapan yang sama, hingga ia “menemukan” Benua Amerika.
Buku Varthema yang menceriterakan tentang pala tersebut dibaca oleh Afonso de Albuquerque, laksamana Portugis, penjajah Eropa pertama yang mengklaim menguasai pelabuhan dagang di Malaka dari Sultan Mahmud, pada tahun 1511. Afonso lalu bergegas mengirim armadanya menuju ke Banda. Ketika pelautnya masih berada di lautan yang berjarak sekitar 15 km dari daratan Banda, mereka merasa sudah dapat mencium bau pala yang dibawa oleh angin.
Begitu tiba di daratan Banda, pelaut Portugis tersebut mengisi kapal mereka dengan biji dan buah pala – lalu membawa muatan tersebut ke Seville, sebuah kota dagang yang cantik di Sepanyol, dan menjualnya dengan harga yang sangat tinggi sehingga mereka menjadi kaya raya. Penjajah Portugis menguasai Banda dari tahun 1511 hingga awal abad ke-17, ketika diambil alih oleh Belanda.
Namun pada waktu yang hampir bersamaan, Inggeris berhasil merebut dua pulau kecil di Kepulauan Banda, yaitu Ai dan Run, yang lalu menjadi dua daerah pertama yang menjadi bagian dari jajahan Kerajaan Inggeris. Karena itu gelar penuh Raja James I pada waktu itu adalah Raja Inggeris, Skotlandia, Irlandia, Perancis, Puloway dan Puloroon. Tapi akhirnya Inggeris memutuskan untuk melepaskan dua pulau kecil itu ke pihak Belanda melalui Kesepakatan Breda, karena ia ingin lebih berkonsentrasi pada daerah jajahannya di Semenanjung Malaka.
Melalui VOC, Belanda memonopoli perdagangan rempah-rempah, kopi dan teh, antara lain dengan menetapkan harga serta memperbudak pekerja perkebunan, bahkan menyingkarkan penduduk asli yang dianggap menentang. Seorang gubernur jenderal Belanda yang sangat kejam yang bernama Jan Pieterszoon Coen membunuh 44 tokoh masyarakat Banda pada tahun 1621, menyingkirkan sejumlah penduduk asli ke luar Banda, serta membawa masuk pekerja dari luar pulau untuk diperbudak di perkebunan pala.
Menurut John Seabrook, Des Alwi, salah seorang tokoh masyarakat Banda, pernah mengusulkan agar dijalin kerjasama kota kembar antara Pulau Run dengan Manhattan untuk mengenang sejarah “pertukaran” wilayah yang unik tersebut. Bahkan sebuah surat telah dilayangkan kepada Walikota New York, tapi hingga kini tidak pernah dibalas.
Walau pala tidak lagi menjadi komoditi berharga yang diperebutkan kini, Kepulauan Banda masih menyimpan kekayaan yang luar biasa berupa sumber daya alam yang berlimpah serta keindahan alam, khususnya pantai dan lautnya yang masih bersih. Kekayaan dan keindahan keragaman hayati laut Banda, berupa berbagai jenis ikan dan terumbu karang, sangat luar biasa berlimpah. Karena alamnya ini lah maka Banda telah diusulkan untuk masuk dalam daftar situs Warisan Alam Dunia yang dikelola oleh UNESCO (Badan PBB untuk Pendidikan, Ilmu Pengetahuan dan Budaya). Bila Banda menjadi terkenal di seluruh dunia karena ekowisatanya, maka hal ini akan menjadi “modal” yang berharga bagi daerah otonomi Maluku kelak.
(Sumber: The New Yorker, Letter from Indonesia – Soldiers and Spice oleh John Seabrook )

No comments:

Post a Comment