Jakarta, 19 Nov 1993 : Orang bilang ujung
pena bisa lebih tajam dari pisau. Hal itu terbukti dari
tulisan-tulisan wartawan Palestina Taher Shriteh tentang Intifada
(pemberontakan rakyat Palestina di daerah pendudukan Israel) yang
membuat berang rejim Zionis Israel.
Ketika Israel mendengar bahwa Taher Shriteh akan menerima Penghargaan Kebebasan Pers 1993, Kedubes Israel di Washington DC dan Konsulat Israel di New York memprotes Komite untuk Melindungi Wartawan (Committee to Protect Journalists - CPJ) dan Klub Pers Nasional AS (National Press Club).
"Pihak Israel di AS mencoba untuk mengintimidasi Klub Pers Nasional,"
Direktur Eksekutif Komite Kebebasan Pers Dunia Dana Bullen mengatakan
beberapa jam sebelum penyerahan penghargaan itu kepada Taher. Ketika Israel mendengar bahwa Taher Shriteh akan menerima Penghargaan Kebebasan Pers 1993, Kedubes Israel di Washington DC dan Konsulat Israel di New York memprotes Komite untuk Melindungi Wartawan (Committee to Protect Journalists - CPJ) dan Klub Pers Nasional AS (National Press Club).
Berhasil menimbulkan kekaguman sejumlah wartawan AS dan membuat pejabat Israel takut, Taher Shriteh, 32 tahun, adalah koresponden Reuters di daerah pendudukan Israel.
Ia juga koresponden lepas untuk New York Times, Associated Press (AP), Voice of Amerika, BBC, CBS dan Jerusalem Post, tulis Andrea W. Lorenz di majalah Washington Report on Middle East Affairs.
Taher adalah satu-satunya wartawan yang meliput hari-hari pertama meletusnya Intifada bulan Desember 1987 di Gaza yang diduduki Israel, tempat kehidupan begitu sulit sehingga membuat wartawan Barat tak betah tinggal di sana.
"Taher Shriteh mendapat penghargaan karena ia terus memberitakan tentang Intifada walau ditentang oleh Pemerintah Israel," demikian siaran pers Klub Pers National yang berpusat di ibukota AS pada Hari Kebebasan Informasi.
Paling sedikit dua kali ia dipenjara oleh penguasa Israel dalam dua tahun terakhir karena tulisan-tulisannya. Tahun 1991, ia masuk tahanan karena menyiarkan terjemahan selebaran pendukung Intifada; bulan Desember 1992 ia kembali ditahan dan hampir diusir karena memberitakan pernyataan sebuah kelompok pejuang yang melalui telpon gelap, menyatakan bertanggungjawab akan terbunuhnya tiga tentara Israel.
Avner Gidron dari CPJ, organisasi yang didirikan tahun 1981 untuk memantau dan mengembangkan kebebasan pers, juga ditelpon pejabat Israel mengenai Taher.
"Mereka bilang prihatin dan ingin tahu alasan kami memilihnya. Mereka menyatakan marah. Lalu, saya jelaskan alasan-alasannya," kata Avner Gidron.
Dua hari kemudian, orang itu menelpon Gidron lagi. "Ia menyampaikan bahwa ada sesuatu yang menyebabkan Israel prihatin."
Israel tampaknya mengetahui bahwa Taher Shriteh akan mendapat penghargaan ketika ia meminta izin untuk berkunjung ke AS guna menerima hadiah tersebut.
Kurang ajar!
Sebelum penyerahan penghargaan itu di Washington, Taher Shriteh menceritakan kepada sejumlah wartawan bagaimana pejabat Israel mencoba menghancurkan karirnya.
Pada awal pecahnya perlawanan Intifada, seorang komandan Israel melihat Taher berdiri dekat Bob Simon, koresponden TV CBS. Komandan itu bertanya pada Taher: "Apakah kamu seorang wartawan?" Ketika Taher mengiyakan, komandan itu berteriak: "Kurang ajar kamu!" dan lalu menangkapnya dengan alasan bahwa ia telah membujuk para pedagang untuk menutup toko mereka.
Tak lama kemudian, tentara Israel menggeledah rumahnya dan merampas surat-suratnya termasuk daftar orang-orang yang biasa ia hubungi. Mereka juga merusak kameranya.
Ketika Perang Teluk bekobar, Israel sekali lagi menangkapnya di rumahnya. Kali ini, mereka menutup kepalanya dengan karung dan membawanya ke Penjara Pusat di Gaza, yang dikenal baik oleh rakyat Palestina maupun Israel sebagai "rumah jagal".
Ia dikurung selama 38 hari di sana. Pada hari-hari pertama, ia tidak boleh tidur dan tak diizinkan pergi ke kamar mandi. Berat badannya turun 18 kg.
Empat tindakan "kejahatan" dituduhkan padanya, yaitu: memiliki sebuah mesin faksimile, menggunakan mesin faksimile, menerbitkan buku tanpa izin, dan tidak melaporkan tentang kegiatan pejuang Palestina kepada pihak Israel.
Setelah mendapat tekanan dari berbagai organisasi media asing dan kelompok hak azasi manusia Israel, ia akhirnya dibebaskan dengan jaminan senilai 5.000 dolar.
Hampir dibuang
Taher juga berada di tengah-tengah lebih dari 400 orang Palestina yang diringkus oleh tentara Israel untuk dibuang ke Lebanon.
Pada tanggal 14 Desember 1992 malam, agen Dinas Rahasia Israel Shabak, mengetok pintu rumahnya, ujarnya pada anggota redaksi majalah Washington Report.
Dengan mata ditutup dan tangan diikat, ia dan 14 pria lainnya, termasuk tiga dokter, beberapa guru, insinyur dan rektor Universitas Islam Gaza diciduk oleh agen Shabak.
Beberapa pria tersebut berusia 60-an. Taher membawa ke Washington DC kain penutup mata dan plastik tipis yang digunakan Israel untuk mengikat tangannya dan melukai kulitnya setiap kali ia bergerak.
"Di dalam bis, kami tidak boleh berbicara," ujarnya. "Saya mulai menduga-duga ke mana kami dibawa pergi," lanjutnya.
Dalam perjalanan itu, seorang tua yang berpenyakit jantung mulai merintih. Tentara Israel tak mau menghentikan bis atau membiarkan seorang pun menolong orang yang sakit itu, walau ada tiga dokter dengan tangan terikat di atas bis.
Setelah beberapa jam perjalanan, bis berhenti. Lama kemudian, Taher diturunkan dari bis. Lalu, penutup matanya dipertebal dan pengikat tangannya ditambah, dan selanjutnya ia dipindahkan ke kendaraan lain. Tentara Israel memukulnya setiap kali ia bergerak untuk melonggarkan ikatan tangannya.
Akhirnya, ia menyadari bahwa ia dibawa kembali ke Penjara Pusat di Gaza setelah perjalanan yang sangat panjang. Di penjara, ia dilempar ke dalam ruangan berukuran 1X2 meter yang tak berjendela, yang dinamakan "kuburan" oleh orang Palestina.
Air merembes di lantai dan tidak ada selimut di ruangan itu. "Lebih-lebih lagi, tidak ada seorang pun yang bisa ditanya 'mengapa'?", ujarnya.
Lalu, seorang penjaga penjara Israel yang pernah menahan dan mengintrogasinya dahulu, menyapanya: "Mengapa kamu di sini? Teman-temanmu sudah dikirim ke Lebanon." Itu "jawaban" pertama yang Taher dapatkan atas pertanyaannya sendiri kemana ia dan orang-orang Palestina lainnya di dalam bis itu akan dibawa.
Shriteh disekap selama empat hari di penjara. Ia dipaksa untuk membeberkan nama orang yang biasa berhubungan dengannya serta orang di setiap tempat penampungan pengungsi di Gaza yang membantunya untuk mendapatkan berita.
Ia tidak pernah dituduh melanggar hukum dan tak ada seorang pun yang menjelaskan mengapa ia ditahan. Ketika Israel membebaskannya karena tekanan dari organisasi media internasional, Israel berkilah bahwa Taher ditahan karena khilaf.
Namun, Taher ingat bahwa agen-agen senior Shabaklah yang menahannya. "Sangat jelas bahwa mereka ingin melenyapkan saya," ujarnya.
Taher bukan satu-satunya wartawan Palestina yang diperlakukan dengan kejam oleh Israel. Seorang tentara Israel pernah mengancam Majdi Al Arabid, rekan Taher, "Jika kami melihat kamu masih menyandang kamera, kami akan tembak kepalamu."
Menurut Taher, Zakaria Talmas yang bekerja untuk TV ABC ditempak di punggungnya sehingga badannya kini lumpuh.
Taher juga pernah ditembak pada enam peristiwa yang berbeda. Sebuah peluru mengenai kamera video CBS yang sedang dibawanya.
Ketika ditanya apakah perlakuan Israel terhadapnya akan berubah setelah ia mendapat penghargaan yang bergengsi itu dari Klub Pers Nasional, Taher menjawab: "Mereka akan lebih hati-hati, tapi mereka tak akan berhenti." Bahkan setelah namanya diumumkan sebagai pemenang hadiah tersebut, Israel sempat menahan dan mengintrogasinya lagi.
(ANTARA SPEKTRUM/RI4/SP04)
No comments:
Post a Comment