Jumlah
taman di ibu kota Indonesia ini memang sangat sedikit di banding kota
metropolitan di negara-negara lainnya. Taman yang adapun sering tidak
nyaman, tidak asri serta kadang-kadang menimbulkan perasaan tidak aman
bagi pengunjungnya.
Warga kampung Banjarsari, Cilandak Barat, Jakarta Selatan, termasuk
yang beruntung karena mereka tinggal di lingkungan yang sangat hijau,
asri dan bersih, di tengah-tengah wilayah Jakarta yang pada umumnya
panas, kotor dan tercemar udaranya akibat asap kendaraan serta debu.
Setelah
UNESCO turun tangan, di kiri-kanan jalan kampung Banjarsari yang dibuat
dari susunan batu cetak itu tampak sangat hijau, dingin dan nyaman
karena dipenuhi tanaman yang tumbuh subur di halaman maupun di dalam
pot-pot graba, plastik bekas, drum dan kaleng-kaleng bekas.
Kecintaan
warga kawasan ini terhadap tanaman sangat besar. Setiap jengkal halaman
rumah yang rata-rata agak sempit itu dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya
untuk menanam berbagai pohon seperti mangga, jambu, berbagai bunga
serta tanaman obat-obatan. Burung-burung liarpun kini makin banyak yang berimigrasi di Banjarsari.
Warga
juga membuat berbagai rak kayu serta gantungan yang penuh dengan
pot-pot kecil, yang antara lain terbuat dari kaleng serta botol plastik
bekas air mineral yang dibelah menjadi dua dan dijadikan sebagai ‘rumah’
bagi tanaman obat seperti cocor bebek, kuping gajah dan bunga pecah
piring.
Kampung
‘impian’ itu tercipta berkat kesadaran, dukungan serta kerja keras
hampir seluruh warga kampung yang dikoordinir oleh seorang nenek berusia
69 tahun yaitu Ny. Harini Bambang Wahono, melalui wadah Komite
Lingkungan, PKK dan LKMD (Lembaga Keamanan Masyarakat Desa) serta
kegiatan pengajian di kampung.
“Saya
senang kalau bisa menolong orang. Niat saya beramal. Kalau dengan
harta, itu terbatas. Tapi kalau dengan ilmu dan perbuatan, selama kita
masih hidup tak ada batasnya. Dan sejak anak-anak saya memang suka
tanaman,” ujar Ibu Bambang, yang bertubuh mungil dan enerjik itu, di
Jakarta baru-baru ini.
Bantuan UNESCO
Bak
gayung bersambut, UNESCO pun mengulurkan bantuannya kepada warga
Banjarsari sejak tahun 1996 dan menjadikannya sebagai pilot project
kampung ramah lingkungan.
“Kami
memilih kampung ini lantaran warganya memiliki kepedulian yang besar
terhadap lingkungan dan tingginya apresiasi yang mereka berikan,
khususnya terhadap hal-hal yang baru dan positif sifatnya,” ujar Nuning
S. Wirjoatmojo, asisten program senior UNESCO.
Memang
kampung Banjarsari ini telah ‘disulap’ menjadi area yang ramah
lingkungan, bukan saja hijau tapi juga sehat dan bersih dengan
mengamalkan prinsip 4 R (reduce, reuse, recycle dan replant (mengurangi
produksi sampah, menggunakan kembali barang bekas, mendaur ulang sampah
dan menanam kembali).
UNESCO
menyelenggarakan pelatihan-pelatihan khususnya bagi remaja dan ibu
rumah tangga mengenai daur ulang sampah, yang dimulai dengan pemisahan
antara sampah organik dan non-organik, dan budidaya cacing untuk proses
pembuatan pupuk organik.
Tiap
tiga buah rumah di kampung ‘hijau’ ini memiliki satu ‘pos stasiun
sampah’ yang siap dikelola oleh para pemuda setempat bekerjasama dengan
pemulung. Mereka mengelolah sampah organik hingga menjadi pupuk untuk
dipakai warganya sendiri maupun untuk dijual. Sementara untuk limbah
kertas, mereka daur ulang kembali hingga menghasilkan produk kertas baru
yang siap dipasarkan.
Kampanye
anti plastik, yang memang sulit didaur ulang, juga giat dilakukan di
Banjarsari. Bila akan berbelanja, para ibu rumah tangga membawa tas
kain, diantaranya ada yang terbuat dari bekas karung terigu, yang dibuat
oleh para manula setempat untuk mendapat penghasilan tambahan.
Organisasi
PBB ini memang sedang memerangi sampah karena prihatin melihat keadaan
perairan Kepulauan Seribu dan Teluk Jakarta yang sangat tercemar karena
sampah industri dan rumah tangga dari daratan di Jakarta.
Nuning,
yang telah bekerja di UNESCO sejak 18 tahun lalu, aktif melakukan upaya
menyelamatkan terumbu karang serta flora dan fauna yang sedang merana
akibat pencemaran sampah di Teluk Jakarta serta Kepulauan Seribu. Ia
ingin menjadikan Banjarsari sebagai awal gerakan ‘peduli’ Teluk Jakarta
dan kepulauan Seribu.
“Kami
berusaha membenahi kebersihan daratan dan sungai dengan tujuan
mengurangi beban yang harus ditanggung laut kita,” tegas Nuning.
UNESCO
Jakarta melibatkan beberapa LSM, antara lain Yayasan Kirei Indonesia,
untuk program pengelolaan sampah terpadu di pasar-pasar tradisional
seperti Pasar Pluit dan sejumlah sekolah antara lain SMU Negeri 34.
“Daur ulang sampah sangat positif bagi pelestarian lingkungan hidup dan sekaligus bernilai ekonomis,” jelas Nuning.
Warga
Banjarsari, yang memiliki Taman Obat Keluarga dengan koleksi berbagai
jenis tanaman obat, juga mendapat kesempatan untuk memperoleh pelatihan
tentang tanaman obat-obatan tradisional dengan bantuan UNESCO.
Sejumlah
manulanya giat memproduksi obat-obatan tradisional seperti jus mengkudu
dan sirup kunyit-asem yang berkhasiat menyembuhkan berbagai penyakit.
“Kami juga memproduksi sirup dari buah belimbing, jahe, daun pandan, asem, beras kencur dan banyak lagi,” kata Ibu Bambang.
Kampung
ini juga dilengkapi dengan taman bacaan yang menyediakan sejumlah buku,
termasuk tentang kesehatan. “Kami ingin menciptakan lingkungan yang
bersih, ramah dan sehat,” ujar Ibu Bambang yang menjabat sebagai ketua
Komite Lingkungan kampung sejak didirikan tahun 1992 oleh UNESO.
Jerih
paya Ibu Bambang dan warga Banjarsari lainnya tidak sia-sia. Selain
mereka menjadi sehat serta sangat menikmati kegiatan mereka tersebut,
kampung ini sering mendapat penghargaan dari Pemda DKI Jaya.
Berbagai
kelompok masyarakat dari daerah, termasuk Irian Jaya, juga pernah
mengadakan lawatan studi banding di kampung ramah lingkungan Banjarsari.
Dan
sebagai puncaknya, Gubernur DKI Jaya Sutiyoso memberikan piagam
penghargaan “Kalpataru” tingkat propinsi kepada Ibu Bambang sebagai
Penyelamat Lingkungan dalam rangka peringatan Hari Lingkungan Hidup
Sedunia bulan Juli 2001.
Seandainya kampung-kampung lainnya mengikuti jejak Banjarsari, maka Jakarta akan menjadi lebih hijau, bersih dan sehat.
Oleh: Fardah Assegaf. Jakarta, 24 September 2005.
No comments:
Post a Comment