Saturday, September 24, 2005

Banjarsari - "OASIS" Di Tengah-Tengah Hutan Beton Jakarta oleh Fardah

      Jakarta, 24/9/2005 - (ANTARA) – Banyak penduduk Jakarta merasa pusing kepala jika ingin menikmati pemandangan yang hijau karena kota metropolitan ini dikenal langkah akan taman-taman yang asri dan layak dinikmati oleh anggota keluarga.
Jumlah taman di ibu kota Indonesia ini memang sangat sedikit di banding kota metropolitan di negara-negara lainnya. Taman yang adapun sering tidak nyaman, tidak asri serta kadang-kadang menimbulkan perasaan tidak aman bagi pengunjungnya.

            Warga kampung Banjarsari, Cilandak Barat, Jakarta Selatan,  termasuk yang beruntung karena mereka tinggal di lingkungan yang sangat hijau, asri dan bersih, di tengah-tengah wilayah Jakarta yang pada umumnya panas, kotor dan tercemar udaranya akibat asap kendaraan serta debu.
            Setelah UNESCO turun tangan, di kiri-kanan jalan kampung Banjarsari yang dibuat dari susunan batu cetak itu tampak sangat hijau, dingin dan nyaman karena dipenuhi tanaman yang tumbuh subur di halaman maupun di dalam pot-pot graba, plastik bekas, drum dan kaleng-kaleng bekas.
            Kecintaan warga kawasan ini terhadap tanaman sangat besar. Setiap jengkal halaman rumah yang rata-rata agak sempit itu dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya untuk menanam berbagai pohon seperti mangga, jambu, berbagai bunga serta tanaman obat-obatan.       Burung-burung liarpun kini makin banyak yang berimigrasi di Banjarsari.
Warga juga membuat berbagai rak kayu serta gantungan yang penuh dengan pot-pot kecil, yang antara lain terbuat dari kaleng serta botol plastik bekas air mineral yang dibelah menjadi dua dan dijadikan sebagai ‘rumah’ bagi tanaman obat seperti cocor bebek, kuping gajah dan bunga pecah piring.
Kampung ‘impian’ itu tercipta berkat kesadaran, dukungan serta kerja keras hampir seluruh warga kampung yang dikoordinir oleh seorang nenek berusia 69 tahun yaitu Ny. Harini Bambang Wahono, melalui wadah Komite Lingkungan, PKK dan LKMD (Lembaga Keamanan Masyarakat Desa) serta kegiatan pengajian di kampung.
“Saya senang kalau bisa menolong orang. Niat saya beramal. Kalau dengan harta, itu terbatas. Tapi kalau dengan ilmu dan perbuatan, selama kita masih hidup tak ada batasnya. Dan sejak anak-anak saya memang suka tanaman,” ujar Ibu Bambang, yang bertubuh mungil dan enerjik itu, di Jakarta baru-baru ini.

                                                                        Bantuan UNESCO
            Bak gayung bersambut, UNESCO pun mengulurkan bantuannya kepada warga Banjarsari sejak tahun 1996 dan menjadikannya sebagai pilot project kampung ramah lingkungan.
            “Kami memilih kampung ini lantaran warganya memiliki kepedulian yang besar terhadap lingkungan dan tingginya apresiasi yang mereka berikan, khususnya terhadap hal-hal yang baru dan positif sifatnya,” ujar Nuning S. Wirjoatmojo, asisten program senior UNESCO.
Memang kampung Banjarsari ini telah ‘disulap’ menjadi area yang ramah lingkungan, bukan saja hijau tapi juga sehat dan bersih dengan mengamalkan prinsip 4 R (reduce, reuse, recycle dan replant (mengurangi produksi sampah, menggunakan kembali barang bekas, mendaur ulang sampah dan menanam kembali).
UNESCO menyelenggarakan pelatihan-pelatihan khususnya bagi remaja dan ibu rumah tangga mengenai daur ulang sampah, yang dimulai dengan pemisahan antara sampah organik dan non-organik, dan budidaya cacing untuk proses pembuatan pupuk organik.
Tiap tiga buah rumah di kampung ‘hijau’ ini memiliki satu ‘pos stasiun sampah’ yang siap dikelola oleh para pemuda setempat bekerjasama dengan pemulung. Mereka mengelolah sampah organik hingga menjadi pupuk untuk dipakai warganya sendiri maupun untuk dijual. Sementara untuk limbah kertas, mereka daur ulang kembali hingga menghasilkan produk kertas baru yang siap dipasarkan.
Kampanye anti plastik, yang memang sulit didaur ulang, juga giat dilakukan di Banjarsari. Bila akan berbelanja, para ibu rumah tangga membawa tas kain, diantaranya ada yang terbuat dari bekas karung terigu, yang dibuat oleh para manula setempat untuk mendapat penghasilan tambahan.
Organisasi PBB ini memang sedang memerangi sampah karena prihatin melihat keadaan perairan Kepulauan Seribu dan Teluk Jakarta yang sangat tercemar karena sampah industri dan rumah tangga dari daratan di Jakarta.
Nuning, yang telah bekerja di UNESCO sejak 18 tahun lalu, aktif melakukan upaya menyelamatkan terumbu karang serta flora dan fauna yang sedang merana akibat pencemaran sampah di Teluk Jakarta serta Kepulauan Seribu. Ia ingin menjadikan Banjarsari sebagai awal gerakan ‘peduli’ Teluk Jakarta dan kepulauan Seribu.
“Kami berusaha membenahi kebersihan daratan dan sungai dengan tujuan mengurangi beban yang harus ditanggung laut kita,” tegas Nuning.
UNESCO Jakarta melibatkan beberapa LSM, antara lain Yayasan Kirei Indonesia, untuk program pengelolaan sampah terpadu di pasar-pasar tradisional seperti Pasar Pluit dan sejumlah sekolah antara lain SMU Negeri 34.
“Daur ulang sampah sangat positif bagi pelestarian lingkungan hidup dan sekaligus bernilai ekonomis,” jelas Nuning.
Warga Banjarsari, yang memiliki Taman Obat Keluarga dengan koleksi berbagai jenis tanaman obat, juga mendapat kesempatan untuk memperoleh pelatihan tentang tanaman obat-obatan tradisional dengan bantuan UNESCO.
Sejumlah manulanya giat memproduksi obat-obatan tradisional seperti jus mengkudu dan sirup kunyit-asem yang berkhasiat menyembuhkan berbagai penyakit.
“Kami juga memproduksi sirup dari buah belimbing, jahe, daun pandan, asem, beras kencur dan banyak lagi,” kata Ibu Bambang.
Kampung ini juga dilengkapi dengan taman bacaan yang menyediakan sejumlah buku, termasuk tentang kesehatan. “Kami ingin menciptakan lingkungan yang bersih, ramah dan sehat,” ujar Ibu Bambang yang menjabat sebagai ketua Komite Lingkungan kampung sejak didirikan tahun 1992 oleh UNESO.
Jerih paya Ibu Bambang dan warga Banjarsari lainnya tidak sia-sia. Selain mereka menjadi sehat serta sangat menikmati kegiatan mereka tersebut, kampung ini sering mendapat penghargaan dari Pemda DKI Jaya.
Berbagai kelompok masyarakat dari daerah, termasuk Irian Jaya, juga pernah mengadakan lawatan studi banding di kampung ramah lingkungan Banjarsari.
Dan sebagai puncaknya, Gubernur DKI Jaya Sutiyoso memberikan piagam penghargaan “Kalpataru” tingkat propinsi kepada Ibu Bambang sebagai Penyelamat Lingkungan dalam rangka peringatan Hari Lingkungan Hidup Sedunia bulan Juli 2001.
Seandainya kampung-kampung lainnya mengikuti jejak Banjarsari, maka Jakarta akan menjadi lebih hijau, bersih dan sehat.
Oleh: Fardah Assegaf. Jakarta, 24 September 2005.

No comments:

Post a Comment