Saturday, June 20, 1987

Pemenang Kalpataru 1987 Gigih dan Tahan Banting oleh Fardah

     Jakarta, 20/6/1987 (ANTARA) - Pemenang tanda penghargaan tertinggi Pemerintah untuk mereka yang berjasa memelihara lingkungan, Kalpataru 1987, boleh dikata orang yang gigih dan tahan banting.
        "Mereka tidak menyerah pada keadaan alam yang kritis dan kering. Mereka justru terdorong untuk bangkit dan bekerja keras demi kesejahteraan keluarga maupun masyarakat setempat," kata Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup (KLH) Emil Salim pada acara jumpa pers di Jakarta Sabtu.

        Jalan yang mereka lalui pun tidak selalu mulus. Ada di antara mereka yang harus mengeluarkan isi kantong sendiri, ada yang sampai terserang malaria, dan bahkan ada yang hampir bercerai dengan isterinya.
        Meski sebelumnya mereka tak pernah bermimpi akan mendapat hadiah dari Pemerintah, akhirnya mereka tokh mendapat pujian dari Presiden Soeharto pada saat penyerahan Kalpataru 1987 di Istana Negara hari Sabtu.
        Tahun ini ada enam orang -- masing-masing tiga untuk kategori perintis lingkungan dan pengabdi lingkungan -- dan tiga kelompok penyelamat lingkungan yang berhak menerima Kalpataru, plus uang masing-masing Rp2,5 juta untuk perorangan dan Rp5 juta untuk kelompok.
        Mereka adalah Abdul Rozak, Sukirman, dan H. Idak untuk kategori Perintis Lingkungan; George Junus Aditjondro, Suradi, dan Bugam Aman Butet untuk Pengabdi Lingkungan), serta Kelompok Tani Hutan Swadaya Giri Subo, Kelompok Nelayan Desa Karatung, dan Masyarakat Desa Sukaraja sebagai Penyelamat Lingkungan.
        Perintis Lingkungan Abdul Rozak, 51 tahun, berasal dari keluarga petani kecil di perbukitan kering dan terpencil Kampung Pesanggrahan, Kelurahan Neglasari, Kabupaten Tasikmalaya.

        Daerah berjurang yang hanya dapat dicapai dengan jalan kaki selama 8,5 jam ini memiliki puluhan hektar sawah tadah hujan yang hanya dapat ditanami padi setahun sekali.

        Kenyataan ini menggugah Abdul Rozak, penggali batu yang sulit berbahasa Indonesia, untuk bangkit membangun saluran irigasi dan terowongan, dengan harus membelah bukit, untuk mengairi sawah.

        Semula tetangga mencemoohkan perbuatannya karena dianggap sebagai gagasan dan pekerjaan gila. Bahkan isterinya pernah minta cerai karena hasil panen dan harta warisan ikut terjual untuk gagasan itu.

        Kini setelah tujuh tahun bekerja dan menghabiskan sekitar Rp14 juta dana swadaya, Abdul Rozak yang dibantu 15 orang, berhasil mendatangkan air yang berlimpah untuk pertanian di daerahnya yang berguna pula untuk membangkitkan listrik. Lebih dari itu kini mereka dapat panen padi tiga kali setahun.

        Lain halnya dengan Desa Silapiang, Kecamatan Sungai Baremas, Kabupaten Pasaman, Sumatera Barat. Sampai tahun 1985 desa itu masih mengalami kesulitan karena tanah pertanian di daerah itu kritis akibat sistem pertanian berpindah-pindah.

       Gagasan pun timbul dalam benak Sukirman untuk membantu petani desanya memperbaiki keadaan. Mula-mula ia membentuk kelompok tani.

        Setelah itu agar tanah tidak gundul ia menganjurkan penanaman kelapa hibrida sebagai tanaman penghijauan yang bermanfaat. Sambil menunggu hasil tanaman keras itu 4-5 tahun kemudian, para petani diajaknya menanam tanaman sela seperti kacangtanah, nilam, kencur, dan jagung, yang hasilnya ternyata cukup membantu memperbaiki tingkat kehidupan mereka.

        Tentu saja pengorbanan Sukirman cukup banyak. Waktu dan tenaganya praktis terkuras untuk memberikan bimbingan dan petunjuk kepada petani. Uangnya pun selama dua tahun ini dipinjamkan tanpa bunga, sehingga tingkat kehidupannya tetap bersahaja.

        Lain lagi dengan kisah Haji Idak. Limapuluh tahun lalu ia adalah pegawai pertanian yang dikirim ke daerah Banjar, Kalimantan Selatan, untuk mengelola daerah rawa gambut yang berkeasaman tinggi.

        Berbekal kemauan keras, Idak yang kini berusia 87 tahun itu, waktu itu mencoba mengolah rawa gambut menjadi daerah pertanian dengan menggunakan metoda garpu. Ia mula-mula membuat bendungan untuk mengalirkan air rawa dan mengurangi populasi pohon galam yang meningkatkan keasaman rawa.

        Kerja keras 50 tahun haji ini tidak sia-sia. Ia mampu memberikan motivasi kepada petani untuk meningkatkan taraf hidup. Di kebunnya pun ada berbagai jenis pohon langka seperti Kelalaya, Lephisanthers/Ginalion, binjai, dan jejantik. Karena usianya telah lanjut ia tak dapat datang menerima hadiahnya. Salahsatu puteranya mewakilinya menerima Kalpataru dari Presiden Soeharto.

        Penyelamat Lingkungan Kegiatan Kelompok Nelayan Desa Karatung, Sangihe, Talaud, Sulawesi Utara, pada mulanya bertujuan memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari dengan menangkap ikan di perairan sekitar Pulau Garat yang terletak berbatasan dengan Filipina.

        Karena keadaan sumberdaya alam terutama perikanan di pulau ini semakin kritis, kelompok nelayan ini berusaha mengatur cara kerja penangkapan ikan di desa Karatung. Berkat pengaturan kerja kelompok ini, sumber plasma nutfah berbagai jenis ikan hias, serta penyu hitam, burung maleo, dan tanaman kayu besi terlindung dari kepunahan.

        H. Babuta yang mewakili rekannya mengatakan bahwa uang Rp5 juta untuk kelompoknya akan dipergunakan untuk membeli motor tempel yang diperlukan untuk memperlancar pengawasan dan tugas sebagai nelayan.

        Sementara itu masyarakat Desa Sukaraja, Lampung Utara, berjasa menyelamatkan hutan yang terlanjur dibuka untuk lahan pertanian dan perkebunan sejak sebelum 1951.

        Karena khawatir kehilangan sumber air yang sangat diperlukan untuk irigasi pertanian mereka, berdasarkan ide yang dicetuskan Abdurachman, pejabat Kepala Desa Sukaraja tahun 1951, masyarakat bekerjasama mengawasi kelestarian hutan dengan sistem pagar rumah tangga.

        Sampai saat ini hutan seluas sekitar 300 hektar itu dapat dipertahankan keutuhannya sebagai hutan primer. Air yang bersumber dari hutan itu dapat mengairi sawah seluas 150 hektar secara tetap dan teratur dan dapat digunakan untuk membangkitkan listrik.     
       Di lain pihak Desa Giri Subo yang terletak di Gunung Kidul, Yogyakarta, mulanya merupakan tanah kritis berbatu cadas dan gundul.

        Pada musim kering sulit sekali mencari air di daerah ini.

        Tahun 1977 masyarakat yang ingin memperbaiki lingkungan tersebut membentuk Kelompok Tani Hutan Swadaya Giri Subo dengan harapan agar para petani dapat melakukan usaha penghijauan secara swadaya.

        Selain akasia penghijauan itu juga dilakukan dengan menanam pohon palawija, serta rumput gajah sebagai makanan ternak. Anggota kelompok ini diwajibkan membayar Rp50 perhari untuk membeli bibit peralatan tani, dan ternak, serta untuk modal usaha simpan pinjam. Berkat usaha keras ini, kini mereka dapat menikmati suplai air yang cukup.

        Pengabdi Lingkungan George Junus Aditjondro (40), menurut Emil Salim, banyak melahirkan kelompok/lembaga swadaya masyarakat (LSM) di bidang lingkungan hidup di Irian Jaya dan daerah lain di Indonesia timur.

        Bekas wartawan Majalah Tempo dan pendiri Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) ini kini bekerja sebagai konsultan informasi dan lingkungan hidup di Yayasan Pengembangan Masyarakat Desa di Irja.

        Kecintaannya pada masyarakat dan lingkungan hidup mendorongnya terjun ke Iran Jaya tahun 1982, yang ketika itu banyak menghadapi masalah yang berkaitan dengan pengeksploitasian lingkungan hidup tanpa menghiraukan kepentingan masyarakat setempat.

        George, yang memboyong isteri dan anaknya ke Irja itu pernah terserang malaria ketika tinggal di pedalaman. Tetapi ia menolak disebut sebagai bidan LSM karena, katanya, ia hanya turut menciptakan iklim yang memungkinkan terbentuknya kelompok itu. 
     Pengabdi lingkungan yang kini sedang menggali fakta tentang peranan orang Irian dalam pembebasan Irian Jaya ini dengan rendah hati mengatakan bahwa ia bukan pekerja tunggal dalam meningkatkan kesadaran masyarakat tempat ia bekerja. Rekan dan penduduk setempat banyak membantu usahanya, kata redaktur "Kabar Dari Kampung" itu.
        Lain halnya dengan Suradi, 31 tahun. Dengan dibebani tugas menunjang upaya rehabilitasi lahan dan konservasi tanah, petugas lapangan penghijaun (PLP) itu ditempatkan di Desa Bambang, Malang, Jawa Timur.
     Daerah Aliran Sungai Brantas menjadi prioritas utama tugasnya itu, karena jenis tanahnya regosol dengan struktur remah dan tekstur pasir dari hasil letusan Gunung Semeru serta tinggi tempatnya 700-1. 100 meter di atas permukaan laut dengan topografi bergelombang berkemiringan 15-55 persen.
     Ia selalu melakukan percobaan membendung air dan menekan laju erosi. Karena usaha yang tak jemu-jemu itulah pada suatu saat Suradi menemukan apa yang disebutnya sebagai "Tabanas Air."
     Ide ini diperolehnya dalam pembuatan saluran air sebagai pelengkap bangunan terasering, yang karena sangat efektif, banyak desa lain di sekitarnya juga mencontoh sistem tersebut. Sementara Bugam Aman Butet yang hanya berpendidikan SD, semula bekerja sebagai tukang sampan penyeberangan ke Stasiun Penelitian Ketambe, Taman Nasional Gunung Leuser, yang luasnya 800.000 hektar.
       Karena seringnya membantu peneliti dalam mengenal tumbuh-tumbuhan dan memelihara mawas, ia dapat menyerap pengetahuan tersebut. Dan hasilnya secara otodidak ia sanggup menolong peneliti menerangkan setiap jenis tumbuhan dan fungsinya masing-masing. Kini Butet yang bekerja sebagai tenaga honorer Perlindungan dan Pelestarian Alam (PPA) setempat. Oleh: Fardah
   (T.E14/C07/K01/87-06-22-14:17)

No comments:

Post a Comment