Jakarta, 11/3/1994 (ANTARA) - Bila di Paris atau Washington
DC segelas teh hangat bisa menghapus dahaga pada saat berbuka puasa, maka di
New Delhi dua gelas es tebu, jus mangga plus "lasi" (yogur encer), belum mampu
menghilangkan rasa haus akibat panas terik.
Berpuasa di tanah rantau memang berat, namun sangat menarik karena memberi kesempatan untuk merasakan suasana "yang lain" selama Ramadhan.
Adzan Maghrib sebagai tanda berbuka
puasa misalnya, tidak seperti di Indonesia, karena suara adzan merupakan hal
yang langka di New Delhi, Paris dan Washington DC, kecuali bila kebetulan
tinggal di dekat masjid yang tentu saja jumlahnya tak sebanyak di Jakarta. Berpuasa di tanah rantau memang berat, namun sangat menarik karena memberi kesempatan untuk merasakan suasana "yang lain" selama Ramadhan.
Maghrib di New Delhi yang kering dan berdebu itu, jatuh pada sekitar pukul 19.00 pada waktu itu (1987). Karena mayoritas penduduk India beragama Hindu, maka suasana Ramadhan tidak terasa.
Muslim India biasanya berbuka puasa dengan "lasi" (semacam yogurt yang manis, dingin dan lezat) dan tentu saja dengan makanan utama mereka, "capati" (roti berbentuk bundar dan tipis yang dibuat dari tepung gandum). Pada musim panas, banyak buah semangka dan es tebu yang dijajakan di pinggir jalan.
Bagi yang tak biasa dengan udara panas di New Delhi, yang saat itu suhu udaranya mencapai sekitar 50 derajat Celsius, buka puasa bisa menjadi "siksaan" karena dua gelas besar es tebu atau dua gelas "lasi" tak dapat mengusir rasa haus.
Akibatnya, tak ada lagi "ruangan" untuk makanan berat dan perut terasa sakit sementara rasa haus tak mau pergi. Anehnya, pada siang hari ketika sedang berpuasa, rasa haus itu tidak sehebat setelah berbuka puasa.
India merupakan negara berpenduduk Muslim terbesar kedua setelah Indonesia. Dari sekitar 800 juta penduduk India, hampir 100 juta di antaranya Muslim.
KBRI di New Delhi mengadakan buka puasa dan salat tarawih bersama pada malam Minggu yang banyak dihadiri oleh pelajar Indonesia.
Masyarakat lebih mudah mencari daging "halal" (dari hewan yang disembelih menurut aturan Islam) di Paris daripada di Washington DC atau New Delhi.
Hal ini mungkin karena terdapatnya kelompok masyarakat Islam yang relatif besar dan sangat efisiennya sistem transportasi di ibukota Perancis ini.
Orang Muslim di seluruh Perancis berjumlah sekitar empat juta orang yang kebanyakan pendatang dari Aljasair, Maroko dan Tunisia. Di Paris, mereka banyak yang menjual makanan khas negara mereka seperti swarma (semacam sandwich) dan kebab.
Di perkampungan Arab di Paris, ada beberapa toko yang menjual daging serta sosis "halal". Lokasi mereka sangat strategis, hanya beberapa meter dari stasiun Metro (kereta api di bawah tanah).
Waktu untuk berbuka puasa (Maghrib) sekitar pukul 20.00 pada tahun 1989. Udara saat itu sangat sejuk, sekitar 10 hingga 15 derajat, merupakan rahmat bagi yang berpuasa.
Pada umumnya para pelajar asing, kebanyakan dari Mesir, Maroko dan Lebanon, yang tinggal di asrama pelajar internasional di Paris saat itu, berpuasa pula.
Sekali-kali mereka saling mengundang berbuka puasa bersama dengan menyajikan masakan khas negara mereka di dapur asrama.
Buka puasa biasanya dimulai dengan makan korma dan minum yogurt. Makanan utama mereka tentu saja roti dengan lauk pauk daging kambing.
Pada malam Minggu, para pelajar Indonesia di Paris ramai memadati KBRI untuk menjalankan salat tarawih bersama dan tentu saja sebelumnya menyantap sambal dan masakan khas Indonesia lainnya yang mereka rindukan. Tidak semua yang hadir berkulit coklat, ada juga orang bule Muslim yang telah menikah dengan orang Indonesia.
Di Belanda suasana Ramadhan sangat terasa di kalangan masyarakat Indonesia khususnya, karena banyak orang Indonesia yang bekerja di negara yang pernah menjajah tanah air ini. Mereka sering mengadakan buka puasa bersama di rumah mereka secara bergantian.
Suasananya "sangat Indonesia" dan akrab. Kebanyakan mereka menggunakan bahasa daerah (khususnya Jawa) sehingga membuat orang lupa bahwa mereka sebenarnya berada jauh di seberang lautan.
Merdu dan memilukan
Suara imam salat tarawih di Islamic Centre di Washington DC terdengar sangat merdu dan terasa menyayat hati ketika ia membacakan ayat-ayat suci Al Qur'an, sehingga beberapa jama'ah ada yang mencucurkan air mata.
Kemerduan suaranya bisa membuat orang menghayal seakan-akan sedang salat di Masjidil Haram atau Al Aqsa.
Islamic Centre juga menyediakan makanan buka puasa bagi kaum Muslim setiap hari selama Ramadhan. Umat Islam dari berbagai negara, seperti Mesir, Palestina, Indonesia, Filipina, Malaysia, Haiti, Maroko, Somalia dan El Salvador memadati mesjid di ibu kota AS ini menjelang buka puasa pada bulan Ramadhan.
Penduduk Amerika yang telah memeluk Islam juga menikmati buka puasa dan salat tarawih bersama di masjid mega yang banyak mendapat bantuan dari Saudi Arabia ini. Kebanyakan Muslim Amerika ini berkulit hitam.
Hidangan yang disajikan antara lain air es dan sirup, teh, korma, roti, briyani (nasi yang dibumbui), semacam gulai kambing atau ayam, kambing guling, lalapan (salad) dan buah-buahan.
Juru masak Islamic Centre pada waktu itu (1993) adalah seorang wanita Indonesia asal Sunda, yang digaji oleh Kedubes Saudi. Ibu ini pula yang biasa memasak makanan untuk para jama'ah salat Jum'at di Islamic Centre setiap hari Jum'at di luar bulan Ramadhan.
Namun, selama bulan Ramadhan ia menangani konsumsi untuk para jama'ah dengan sistem borongan. Ia dibantu oleh seorang putranya dan beberapa ibu (kebanyakan isteri lokal staf KBRI) yang mendapat imbalan lumayan.
KBRI Washington DC, yang terletak tidak jauh dari Islamic Center dan mesjid Washington DC, mengadakan acara buka puasa dan salat tarawih secara bergantian di rumah-rumah staf KBRI yang kebanyakan tersebar di Maryland dan Virginia, di pinggir kota Washington DC.
Hal ini menyebabkan para pelajar Indonesia mengalami sedikit kesulitan untuk
bergabung karena tempatnya selalu berganti-ganti.
Buka puasa bersama-sama umat Islam dari berbagai negara lainnya merupakan kesempatan untuk saling mengenal saudara-saudara sesama Muslim dan tukar pendapat.
Pada suatu hari di bagian wanita di Islamic Centre, seorang wanita bule masuk tanpa kerudung ketika para Muslimah sedang berbuka puasa.`
Wanita Barat ini mengaku sebagai wartawati dan ingin wawancara mengenai peristiwa pemboman di World Trade Centre di New York, yang menurut Pemerintah AS dilakukan oleh sekelompok imigran Muslim dari Timur Tengah.
Namun, secara spontan semuanya menolak untuk diwawancarai, bahkan salah satu dari mereka menegur wartawati tersebut karena masuk masjid tanpa menutup rambutnya.
"Dia pasti Yahudi. Tak ada gunanya berbicara dengan dia, karena apapun yang kita sampaikan padanya, ia tetap akan menulis artikel yang memojokkan kita, umat Islam," ujar seorang ibu dari Somalia setelah wartawati tersebut pergi. Oleh Fardah Assegaff
(T/RI4/SP01/11/03/94 12:22/SR1)
Buka puasa bersama-sama umat Islam dari berbagai negara lainnya merupakan kesempatan untuk saling mengenal saudara-saudara sesama Muslim dan tukar pendapat.
Pada suatu hari di bagian wanita di Islamic Centre, seorang wanita bule masuk tanpa kerudung ketika para Muslimah sedang berbuka puasa.`
Wanita Barat ini mengaku sebagai wartawati dan ingin wawancara mengenai peristiwa pemboman di World Trade Centre di New York, yang menurut Pemerintah AS dilakukan oleh sekelompok imigran Muslim dari Timur Tengah.
Namun, secara spontan semuanya menolak untuk diwawancarai, bahkan salah satu dari mereka menegur wartawati tersebut karena masuk masjid tanpa menutup rambutnya.
"Dia pasti Yahudi. Tak ada gunanya berbicara dengan dia, karena apapun yang kita sampaikan padanya, ia tetap akan menulis artikel yang memojokkan kita, umat Islam," ujar seorang ibu dari Somalia setelah wartawati tersebut pergi. Oleh Fardah Assegaff
(T/RI4/SP01/11/03/94 12:22/SR1)
No comments:
Post a Comment