Jakarta, 29/11/1995
(ANTARA) - Prof. Mohamed Arkoun berpendapat bahwa ada kebodohan yang
terlembaga yang diajarkan universitas, karena itu sangat diperlukan
pembebasan pengetahuan.
"Lembaga pendidikan kini hanya menggunakan sebagian metodologi pengajaran, belum secara keseluruhan," kata Prof. Mohamed Arkoun, pengajar Sejarah Pemikiran Islam di Universitas Sorbonne, Paris, di Jakarta, Rabu.
Dalam mempelajari kritik nalar Islam, misalnya, penggunaan metodologi struktur saja tidak cukup, tapi perlu menggunakan metodologi lain, seperti sejarah dan filosofi, katanya ketika berbicara tentang "Strategi Bagi Suatu Kritik Nalar Islam" di Pusat Kajian Islam IAIN Syarif Hidayatullah.
Kritik nalar Islam adalah suatu upaya intelektual yang dinamis, terbuka dan siap menerima perubahan-perubahan.
Ia menekankan pentingnya umat Islam untuk mempelajari secara kritis sejarah pemikiran Islam guna mencari jalan keluar bagi sejumlah masalah.
Cendekiawan yang lahir di Aljazair dan tinggal di Perancis ini, memberi contoh bahwa konflik berdarah yang terjadi di beberapa negara mayoritas Islam, seperti Aljazair dan Senegal, sebenarnya bukan hal baru dalam sejarah Islam.
Namun, umat Islam melupakan hal ini karena kurangnya pengetahuan mereka mengenai pemikiran sejarah sendiri terutama dalam perekonomian modern saat ini, kesenjangan antara umat Islam dan masyarakat Eropa dalam mendekati masalah sekularisme lawan fanatisme itu telah menimbulkan kesalah pahaman.
"Kita harus menjembatani antara umat Islam dan kelompok sekular di dunia, bukan saja di Eropa tapi juga di negara-negara Islam," tambahnya.
Menurutnya, hal ini bisa dimulai dengan membaca Al Qur'an, misalnya dengan pendekatan sejarah, antropologi dan bahasa.
Sekularisme
Ia juga berpendapat bahwa sekularisme dibutuhkan secara politis untuk memberikan ruang bagi warganegara dari berbagai golongan masyarakat, sehingga mereka dapat mengekspresikan pendapatnya.
"Sekularisme bukan berarti mematikan kehidupan beragama, tapi justru diperlukan sebagai jaminan negara agar dimensi yang beragam (plural) bisa berkembang," tambah Prof. Arkoun.
Pendidikan mengenai pluralisme ini sekarang justru belum memadai, ujar Prof. Arkoun kepada ANTARA dan the Jakarta Post di dalam pesawat dari Yogyakarta menuju Jakarta, Selasa, setelah menghadiri acara penyerahan Penghargaan Arsitektur Aga Khan.
"Islam telah melahirkan berbagai 'bunga' yang semuanya cantik, seperti Sunni, Shiah, Ismaili dan lain-lainya," tambah anggota juri Penghargaan Aga Khan ini.
Ahli sejarah Islam ini mengatakan bahwa Islam sebenarnya juga humanis yang mempelajari berbagai budaya dan tradisi, termasuk di luar Islam.
"Namun, sejak abad ke-16 kita menjadi miskin karena kurang terbuka dan kurang mempelajari pemikiran-pemikiran sejarah, baik Islam maupun non-Islam," tambah penulis buku "Rethinking Islam" itu.
Islam kehilangan modernitas sejak abad tersebut, sementara Barat membuat penemuan-penemuan ilmu pengetahuan dan teknologi, ujarnya.
Mengenai hubungan Islam dan ilmu pengetahuan, ia mengatakan bahwa Islam bukan dimensi yang statis, tapi ia dinamis dan selalu berubah, begitu pula ilmu pengetahuan.
"Karena itu Islam dan ilmu pengetahuan bisa berjalan bersama," kata Arkoun, yang bersahabat dengan Pangeran Aga Khan, pemimpin Shiah Ismaili, sejak 1981.
Ia memberi contoh bahwa Kristen sejak dulu telah mengembangkan ilmu agama dengan berbagai cabang ilmu lainnya, misalnya antropologi.
Prof. Arkoun menunjuk salah satu sumber kesalahan yang menjadikan Islam sebagai konsep yang statis adalah belum diasimilasikannya kebenaran sejarah.
Pengajar yang telah melakukan kunjungan lima kali ke Indonesia ini, menganjurkan umat Islam untuk mempelajari fenomena sosiologi di berbagai negara Islam. (t/ri4/dps003/29/11/95 08:53/ru2)
"Lembaga pendidikan kini hanya menggunakan sebagian metodologi pengajaran, belum secara keseluruhan," kata Prof. Mohamed Arkoun, pengajar Sejarah Pemikiran Islam di Universitas Sorbonne, Paris, di Jakarta, Rabu.
Dalam mempelajari kritik nalar Islam, misalnya, penggunaan metodologi struktur saja tidak cukup, tapi perlu menggunakan metodologi lain, seperti sejarah dan filosofi, katanya ketika berbicara tentang "Strategi Bagi Suatu Kritik Nalar Islam" di Pusat Kajian Islam IAIN Syarif Hidayatullah.
Kritik nalar Islam adalah suatu upaya intelektual yang dinamis, terbuka dan siap menerima perubahan-perubahan.
Ia menekankan pentingnya umat Islam untuk mempelajari secara kritis sejarah pemikiran Islam guna mencari jalan keluar bagi sejumlah masalah.
Cendekiawan yang lahir di Aljazair dan tinggal di Perancis ini, memberi contoh bahwa konflik berdarah yang terjadi di beberapa negara mayoritas Islam, seperti Aljazair dan Senegal, sebenarnya bukan hal baru dalam sejarah Islam.
Namun, umat Islam melupakan hal ini karena kurangnya pengetahuan mereka mengenai pemikiran sejarah sendiri terutama dalam perekonomian modern saat ini, kesenjangan antara umat Islam dan masyarakat Eropa dalam mendekati masalah sekularisme lawan fanatisme itu telah menimbulkan kesalah pahaman.
"Kita harus menjembatani antara umat Islam dan kelompok sekular di dunia, bukan saja di Eropa tapi juga di negara-negara Islam," tambahnya.
Menurutnya, hal ini bisa dimulai dengan membaca Al Qur'an, misalnya dengan pendekatan sejarah, antropologi dan bahasa.
Sekularisme
Ia juga berpendapat bahwa sekularisme dibutuhkan secara politis untuk memberikan ruang bagi warganegara dari berbagai golongan masyarakat, sehingga mereka dapat mengekspresikan pendapatnya.
"Sekularisme bukan berarti mematikan kehidupan beragama, tapi justru diperlukan sebagai jaminan negara agar dimensi yang beragam (plural) bisa berkembang," tambah Prof. Arkoun.
Pendidikan mengenai pluralisme ini sekarang justru belum memadai, ujar Prof. Arkoun kepada ANTARA dan the Jakarta Post di dalam pesawat dari Yogyakarta menuju Jakarta, Selasa, setelah menghadiri acara penyerahan Penghargaan Arsitektur Aga Khan.
"Islam telah melahirkan berbagai 'bunga' yang semuanya cantik, seperti Sunni, Shiah, Ismaili dan lain-lainya," tambah anggota juri Penghargaan Aga Khan ini.
Ahli sejarah Islam ini mengatakan bahwa Islam sebenarnya juga humanis yang mempelajari berbagai budaya dan tradisi, termasuk di luar Islam.
"Namun, sejak abad ke-16 kita menjadi miskin karena kurang terbuka dan kurang mempelajari pemikiran-pemikiran sejarah, baik Islam maupun non-Islam," tambah penulis buku "Rethinking Islam" itu.
Islam kehilangan modernitas sejak abad tersebut, sementara Barat membuat penemuan-penemuan ilmu pengetahuan dan teknologi, ujarnya.
Mengenai hubungan Islam dan ilmu pengetahuan, ia mengatakan bahwa Islam bukan dimensi yang statis, tapi ia dinamis dan selalu berubah, begitu pula ilmu pengetahuan.
"Karena itu Islam dan ilmu pengetahuan bisa berjalan bersama," kata Arkoun, yang bersahabat dengan Pangeran Aga Khan, pemimpin Shiah Ismaili, sejak 1981.
Ia memberi contoh bahwa Kristen sejak dulu telah mengembangkan ilmu agama dengan berbagai cabang ilmu lainnya, misalnya antropologi.
Prof. Arkoun menunjuk salah satu sumber kesalahan yang menjadikan Islam sebagai konsep yang statis adalah belum diasimilasikannya kebenaran sejarah.
Pengajar yang telah melakukan kunjungan lima kali ke Indonesia ini, menganjurkan umat Islam untuk mempelajari fenomena sosiologi di berbagai negara Islam. (t/ri4/dps003/29/11/95 08:53/ru2)
No comments:
Post a Comment