Tuesday, February 10, 2004

Suplai Air Bersih, Antara Hak dan Komoditi oleh Fardah

     Jakarta, 10/2/2004 (ANTARA) - Warsiman (35 thn), nelayan asal Muara Angke yang menjadi korban gusuran, mengeluh bahwa di tempat barunya ia harus mengeluarkan uang Rp9.000,- per hari.
        Ia mengeluarkan biaya tersebut untuk membeli 10 hingga 12 jerigen air, padahal pendapatannya hanya Rp15.000,- per hari.
        Tak heran, Warsiman bersama rekan-rekannya, yaitu 430 keluarga nelayan yang digusur oleh Pemda dari pinggiran Sungai Muara Angke, meminta PD PAM Jaya agar dapat menyuplai air bersih bagi mereka, dengan harapan harga airnya bisa jauh lebih murah dari yang selama ini mereka beli di penjual air pikulan.

        Seorang penjual air pikulan, seperti dikutip The Jakarta Post pada pertengahan Januari 2004, mengatakan bahwa sengaja menaikkan harga menjadi antara Rp750 hingga Rp1000 per jerigen untuk melayani para nelayan tersebut di lokasi mereka yang baru.
        Ketika masih di Muara Angke, mereka membeli air seharga air Rp500 per jerigen karena lokasinya hanya sekitar 500 meter dari tempat penjual mengambil air bersih. "Kini untuk melayani mereka, saya harus berjalan sepanjang dua kilometer. Oleh karena itu, harga air saya naikkan," kata penjual air itu.
        Biasanya, satu keluarga yang terdiri dari dua orang tua dan dua anak memerlukan sekitar 10 jerigen air per hari untuk kebutuhan memasak, minum, mandi dan cuci pakaian.
        Warsiman dan masyarakat miskin lainnya, yang belum dilayani oleh perusahaan air minum (PAM), kenyataannya harus membayar lebih mahal untuk mendapatkan air bersih dibanding dengan para keluarga golongan menengah dan atas, yang sudah dilayani oleh PAM.
        Sebagai contoh, Agus, seorang pelanggan PAM Jaya yang tinggal di Jakarta Timur dan dari keluarga berada, hanya membayar sekitar Rp70.000 per bulan untuk berlangganan air ledeng, yang berarti sekitar Rp2.333 per hari.

        Bukan hanya bagi nelayan Muara Angke itu, masyarakat miskin di negara-negara berkembang lainnya juga sering kali harus membayar lebih mahal untuk membeli air dari penjaja air pikulan, dibanding mereka yang sudah berlangganan air bersih dari PAM.

        Di satu sisi, berbagai pihak mengakui bahwa air adalah hak manusia yang harus dipenuhi. Di sisi lain, penduduk miskin kenyataannya harus mengeluarkan uang lebih banyak untuk memperoleh air bersih karena air yang ada di alam banyak yang sudah tercemar, dan pada saat yang sama mereka belum dijangkau oleh fasilitas distribusi air bersih dari PAM.

        Sejumlah budayawan, penulis dan artis India pada sebuah konperensi tentang air yang berlangsung di Plachimada, India bagian selatan, baru-baru ini menegaskan, "Air bukanlah komoditas, tapi hak."

        Kantor Berita India, PTI, akhir Januari 2004 memberitakan bahwa penulis terkenal India, M.T. Vasudevan Nai, mengimbau masyarakat untuk menentang upaya penaklukan budaya oleh pihak asing.

        "Kita bisa menemukan pengganti untuk makanan, tapi tidak ada pengganti bagi air. Tidak ada seorangpun yang mempunyai hak untuk mengeksploitasi kebutuhan manusia," katanya.

        Sementara itu, Dari Wonosobo, Jawa Tengah, Wakil Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (HAM), Solahuddin Wahid, pada pertengahan Januari 2004 mengemukakan, perlunya penghentian pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang air oleh DPR RI karena akan merugikan kepentingan rakyat kecil.

        "Petani akan mengalami kerugian seandainya sumber air sudah dikuasai orang lain, bahkan untuk mengairi sawah saja harus membayar," katanya saat gelar budaya petani Jawa Tengah, seperti diberitakan ANTARA.

        Ia mengatakan, RUU air merupakan paket dari para pemilik modal. Jika RUU itu mendapatkan persetujuan DPR, maka mereka akan memiliki kemudahan menguasai berbagai sumber air.

        Duta khusus PBB Erna Witoelar, Duta Khusus Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk Sasaran Pembangunan Milenium (MDG) di Asia Pasifik, dalam pidato utamanya di depan peserta Pekan Air Bank Pembangunan Asia (ADB) di Manila akhir Januari 2004 dengan lantang mengatakan bahwa air adalah hak asasi manusia.

        Ketika menjelaskan pernyataannya tersebut kepada ANTARA, Erna mengatakan bahwa yang dia maksud air sebagai hak tersebut adalah air yang berasal dari sumbernya langsung dan bisa didapat secara cuma-cuma.

        Namun, PAM mengeluarkan biaya investasi yang lumayan besar agar bisa memberikan pelayanan distribusi air bersih ke rumah-rumah pelanggan. Biaya pelayanan itu lah yang harus dibayar oleh pelanggan.

        "Di Pekan Air ADB ini saya memang sengaja menekankan bahwa air adalah hak, karena ada pihak yang beranggapan bahwa air adalah komoditi komersial. Harus dicari jalan tengah untuk mempertemukan dua pendapat yang sangat berbeda itu," kata Erna, mantan Presiden WALHI (Wahana Lingkunan Hidup Indonesia).

        Seorang pakar air ADB, Wouter Lincklaen Arriens, mengatakan bahwa suplai air terdiri dari unsur resource (sumber alam) dan service (pelayanan).

Investasi dan biaya yang cukup besar harus dikeluarkan untuk memberi pelayanan air ledeng kepada masyarakat. Begitu juga air sebagai resource, diperlukan biaya untuk mengelola dan melindungi sungai dan lingkungan.

        Namun, ia mengemukakan, harus tetap dibedakan mengenai tarif langganan bagi si miskin dan si kaya. Orang miskin harus mendapat subsidi silang dan dikenai pembayaran yang jauh lebih rendah dibanding penduduk kaya.

        Ia mencontohkan, di sejumlah negara biaya pemasangan pipa untuk berlangganan air ledeng sangat tinggi, bahkan di India bisa mencapai tujuh kali lipat gaji pegawai golongan bawah.

        "Dalam hal ini biaya pemasangan berlanggan air PAM harus disubsidi, bahkan kalau perlu dipasang gratis," ujar Wouter, warga Belanda yang dapat berbahasa Indonesia itu.

        Peranan pemerintah yang bersih dan pimpinan yang peduli pada orang miskin sangatlah penting dalam pembuatan undang-undang dan peraturan yang dapat memberdayakan dan membela kepentingan masyarakat yang tak mampu, tambahnya.

        ADB merupakan salah satu lembaga keuangan yang banyak memberi pinjaman kepada Indonesia untuk pembangunan proyek air, antara lain proyek sektor pertanian irigasi Sumatera Utara (130 juta dolar AS), Proyek Pembangunan Perkotaan Jabotabek (80 juta dolar AS), dan Proyek Sektor Irigasi Penyertaan (73 juta dolar AS).

        Keadaan di Asia

        Menurut data Bank Pembangunan Asia (ADB), saat ini satu dari tiga penduduk di Asia Pasifik belum mendapat akses untuk memperoleh air bersih yang cukup.

        Setiap tahunnya, dalam catatan ADB, sekitar tiga juta orang miskin, khususnya anak-anak, meninggal dunia karena menderita sakit, seperti diare, akibat mengkonsumsi air yang tidak bersih.

        PBB, pada Konperensi Tingkat Tinggi (KTT) Pembangunan Berkelanjutan di Johannesburg tahun 2000, menetapkan target Sasaran Pembangunan Milenium (Millenium Development Goals - MDG) bahwa pada tahun 2015 jumlah masyarakat miskin yang belum mendapat akses untuk memperoleh air bersih harus dikurangi hingga tinggal setengahnya saja. Artinya, 50 persen atau 1,5 milyar orang miskin harus sudah dijangkau oleh pelayanan air bersih dalam waktu 11 tahun mendatang.

        Hasil satu studi ADB di beberapa kota di Asia menunjukkan bahwa dalam periode enam tahun (1995-2001), kenaikan rata-rata jangkauan pelayanan air hanya mencapai 0,7 persen.

        Wakil Presiden ADB, Geert van der Linden, mengatakan bahwa dengan tingkat kenaikan yang sangat rendah dan lamban tersebut, beberapa kota di Asia itu perlu waktu selama 101 tahun untuk mencapai jangkauan pelayanan air hingga 90 persen rata-rata.
"Tanpa kerja keras dan perubahan drastis, maka mustahil bagi sejumlah negara Asia itu bisa mencapai target MDG," katanya.

        Menurut laporan Indonesia pada Forum Air Sedunia ke-3 di Kyoto tahun 2003, sedikit-dikitnya 80 persen penduduk Indonesia belum dijangkau oleh pelayanan air PAM. Hanya sekitar 51 persen penduduk perkotaan dan delapan persen penduduk pedesaan yang sudah bisa menikmati air ledeng di rumahnya.

        Pekan air

        Pekan Air ADB 2004 yang berlangsung di Manila, 26-30 Januari 2004, bertemakan "Air untuk Masyarakat Miskin, Menetapkan Aturan dan Mendapatkan Dananya."

        Bank yang berkantor pusat di Manila itu memberikan Penghargaan Air ADB tahun 2004 kepada PAM Phnom Penh (Kamboja), karena dianggap berhasil dalam menjalankan kepemimpinan dan inovasi pada sektor pembiayaan dan pengelolaan proyek dengan baik.

        PAM Phnom Penh yang mendapat otonomi dari Pemerintah Kamboja untuk mengelola keuangan dan operasionalnya secara mandiri berhasil mengembalikan biaya investasinya dan memperluas jangkauan pelayanannya hingga tiga kali lipat dalam 10 tahun terakhir.

        Selain itu, PAM Phnom Penh kini dapat melayani distribusi air untuk penduduk miskin di daerah kumuh, yang dulu hanya bisa mereka impikan untuk mendapatkan fasilitas air ledeng.

        Perusahaan air tersebut menerapkan sistem subsidi silang dalam menetapkan tarif pelayanan airnya. Penduduk kaya harus membayar tinggi, sementara pelanggan yang miskin membayar jauh lebih rendah kepada PAM Phonm Penh.

        Presiden ADB Tadao Chino dalam sambutannya mengemukakan bahwa krisis air di wilayah Asia Pasifik pada dasarnya adalah sebuah krisis manajemen.

        "Karena itu, dalam diskusi Pekan Air ini kita coba menyoroti tentang pentingnya kepemimpinan dan pengelolaan pelayanan air yang baik, and bagaimana hal itu dapat diterjemahkan dengan lebih baik dalam bentuk aturan dan prosedur yang menguntungkan masyarakat miskin. Kami akan membantu pemimpin yang mempunyai komitmen kuat untuk mengurangi angka kemiskinan," kata Tadao Chino.

        Studi kedua ADB pada tahun 2002 di 18 kota Asia membuktikan bahwa kepemimpinan bukan saja penting, tapi bahkan hal utama yang menentukan keberhasilan upaya pelayanan air bersih yang merata dan adil.

        Dalam Pemerintahan, kepemimpinan yang baik dapat menghasilkan kebijakan-kebijakan yang memprioritaskan kebutuhan rakyat miskin. Sementara itu dalam perusahaan air bersih, kepemimpinan yang baik dapat menjamin pengelolaan operasional maupun keuangan yang sehat, bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN), serta transparan.
Dalam salah satu rekomendasi Pekan Air ADB itu ditekankan perlunya pemimpin yang mau mendengarkan orang miskin. Seperti menyimpan air dalam ember yang bocor , begitulah pengandaian sebuah perusahaan atau pemerintahan dengan pemimpin yang tidak baik dan membiarkan terjadinya KKN.
Oleh: Fardah Assegaf. Jakarta, 10 Februari 2004

No comments:

Post a Comment