Friday, March 21, 2003

Atasi Krisis Air: Privatisasi atau Partisipasi Swasta? oleh Fardah

    Kyoto, 21/3/2003 (ANTARA) - Banyak istilah digunakan orang untuk menyebut fenomena tertentu. Mengenai serangan ke Irak misalnya, Presiden AS George Bush menyebutnya sebagai "Operasi Pembebasan Rakyat Irak", sementara pihak Irak menyebutnya sebagai "Invasi AS".
        Begitu juga dengan masalah pelayanan suplai air. Organisasi keuangan dunia dan perusahaan bisnis air menyebutnya sebagai "partisipasi sektor swasta", tapi pihak LSM menuduhnya sebagai langkah privatisasi perusahaan pelayanan suplai air.
      Sebagian besar masyarakat masih melihat air sebagai komoditi sosial yang harus bisa dinikmati secara cuma-cuma oleh setiap orang.

      Namun sejak Pertemuan Dublin di Irlandia tahun 1992, muncul argumentasi yang menekankan bahwa air harus dipandang sebagai komoditi yang bernilai ekonomi karena banyak negara yang mulai mengalami krisis kekurangan air bersih, kata Mahmoud Abu-Zeid, Presiden Dewan Air Sedunia (WWC).
       Di Asia saja, sedikitnya 1,3 milyar penduduk tidak mempunyai akses untuk mendapatkan air bersih, dan 40 persen penduduk di perkotaan tidak terjangkau pelayanan air dari PAM. Di dunia, lebih tiga juta orang meninggal setiap tahunnya karena penyakit yang disebabkan oleh air kotor.
       Forum Air Sedunia ke-3 yang kini sedang diselenggarakan oleh WWC dan Pemerintah Jepang di Kyoto, Osaka dan Shiga, Jepang, 16-23 Maret 2003, menggaungkan kembali peringatan bahwa dunia sedang mengalami krisis air bersih.
        Diserukan bahwa partisipasi sektor swasta merupakan salah satu cara untuk membiayai investasi penyediaan air bersih karena pemerintah tidak punya cukup dana untuk biaya yang besar tersebut.
        Namun sebagaian LSM menanggapi rekomendasi WWC tentang partisipasi sektor swasta tersebut dengan skeptis. Mereka menganggap WWC merupakan bagian dari sebuah 'Mafia Air', karena Dewan ini terdiri dari teknokrat dari organisasi yang bergerak di bidang irigasi dan pembangunan, dan wakil-wakil perusahaan multinasional di bidang konstruksi dan rekayasa air, seperti Industri Berat Mitsubishi dan Bank Dunia.
        Dengan digembar-gemborkan sebagai komoditi yang langka, yang berupakan dasar kapitalisme modern, maka air menjadi komoditi ekonomi, ujar Richardo Petrella, profesor dari Universitas Katolitk Louvain di Perancis, seperti dikutip dalam laporan Konsorsium Wartawan Investigasi Internasional (ICIJ)

        Bank Dunia mengucurkan pinjaman sebesar 17 milyar dolar AS, atau 16 persen dari seluruh pinjaman mereka, untuk membantu investasi suplai air di negara-negara berkembang.

        Bank Pembangunan Asia (ADB) juga menyediakan dana 17 milyar dolar AS, atau 20 persen dari pinjaman totalnya untuk proyek serupa.

        Dua badan keuangan dunia ini gencar mendorong negara-negara penghutang untuk melakukan kemitraan dengan perusahaan swasta dan LSM dalam menjalankan proyek pembangunan dan pelayanan suplai air.

        Mereka juga mendorong agar dilakukan peninjauan tarif langganan air yang tepat agar biaya investasi segera dapat kembali, dan pada saat yang sama orang bisa lebih menghargai nilai air karena jika terlalu murah orang cenderung untuk menggunakan air secara berlebihan dan tidak mau menghemat air.

        Namun LSM mengkritik saran-saran badan dunia itu karena menganggap imbauan tentang kemitraan itu merupakan bagian dari upaya komersialisasi air atau privatisasi air.

        Menanggapi hal itu, seorang pakar sumber daya air ADB mengatakan bahwa privatisasi air berbeda dengan partisipasi sektor swasta, di mana pemerintah setempat masih merupakan 'pemilik' utama sumber daya air tersebut.

        Di Indonesia, 10 persen dari 55 proyek penerima pinjaman ADB adalah untuk suplai air. Pemerintah Indonesia juga meminta pinjaman dari Bank Dunia untuk memperbaiki fasilitas suplai air oleh PAM.

        Mulai tahun 1998, dua perusahaan air dari Eropa, yaitu Thames Water dan Suez mulai bermitra kerja dengan PAM di Indonesia.

        Menurut laporan ICIJ, perusahaan multinasional yang banyak merambah ke negara-negara berkembang sejak awal 1990 antara lain adalah: Suez dan Vivendi Environnement dari Perancis, Thames Water dari Jerman, Saur dari Perancis, United Utilities dari Inggris, dan Bechtel dari Amerika Serikat.

        Mereka mengejar bisnis yang diperkirakan dapat menghasilkan nilai sekitar 400 miliar hingga 3 triliun dolar AS.

        Debat mengenai privatisasi atau partisipasi swasta menjadi sangat sengit dalam Forum delapan hari yang dihadiri oleh lebih dari 10,000 orang termasuk wakil LSM dan pejabat pemerintah. Sebagian percaya bahwa pemerintah harus menyediakan air secara gratis untuk rakyatnya, dan sebagian lagi menganggap perlu partisipasi pihak perusahaan swasta karena pemerintah tidak punya cukup uang untuk itu.

        Tony clarke, direktur sebuah LSM Kanada, Polaris Institute, mengatakan bahwa Forum ini terlalu didominasi oleh pengusaha dan wakil dari industri air.

        "Mereka berbicara tentang kemitraan, tapi kenyataannya tidak menolong orang miskin, karena mereka terlalu mendikte," tegasnya.

        Menurutnya, kisah sukses privatisasi pelayanan air seperti yang ada di Inggris tidak dapat diterapkan di negara-negara miskin karena banyak negara berkembang yang belum siap peraturan dan perundang-undangannya.

Dua LSM dari Inggeris, WaterAid dan Tearfund, juga menganggap partisipasi swasta di negara berkembang sebagai tidak relevan, dan Forum yang diikuti oleh lebih dari 100 menteri dan memakan biaya sekitar 10 juta dolar AS ini, hanya membuang-buang waktu dan uang.

        Joanne Green dari Tearfund mengatakan bahwa badan-badan donor internasional mestinya lebih memahami mengenai peranan swasta. Mereka harus berhenti menekan pemerintah di negara-negara berkembang untuk membuka pintu lebar-lebar bagi perusahaan swasta asing sebagai syarat penerimaan bantuan.

        "Apa gunanya mengganti monopoli pemerintah dengan monopoli swasta jika negara-negara berkembang tersebut tidak cukup mempunyai aturan dan undang-undang yang mendukung perlindungan konsumen," katanya.

        Pemulihan biaya

        Menurut WWC, biaya untuk suplai air dan sanitasi di seluruh dunia harus ditingkatkan dari 80 miliar menjadi 180 miliar dolar AS setahun jika ingin mencapai target yang ditetapkan di KTT Pembangunan Berkelanjutan di Johannesburg yang menekankan komitmen untuk memastikan agar semua orang dapat terjangkau oleh air bersih dan fasilitas sanitas pada tahun 2025.

        Namun menurut, Gourisankar Ghosh, direktur eksekutif Water Supply and Sanitation Collaborative Council (WASH) yang berpusat di Jenewa, Swiss, cukup perlu tambahan 11 miliar dolar per tahun saja, bukan tambahan 100 miliar dolar AS seperti kata WWC.

        Gosh mengatakan bahwa biaya teknologi di bidang penyediaan air bersih di negara-negara maju sebetulnya sudah turun drastis selama 20 tahun terakhir, tapi sayang teknologi murah tersebut belum sampai ke negara-negara miskin.

        Penetapan tarif baru yang dapat mendukung pemulihan biaya investasi, membayar utang dan menutup biaya operasional maupun pemeliharaan, merupakan isu yang sangat sensitif.

        Banyak LSM mengatakan tarif air menjadi mahal karena negara berkembang harus membayar teknologi dari negara maju yang sangat mahal, bukan airnya itu sendiri.

        Karena isu tarif ini kontroversial, Abu-Zeid, yang juga menteri irigasi dan sumber daya air Mesir, mengatakan bahwa perlu memperhatikan beberapa kriteria.

        Di antaranya tarif baru itu dapat mendorong tercapainya konservasi atau penghematan air; dapat mengembalikan biaya sehingga bisa menutup biaya operasi dan pemeliharaan; masih bisa dijangkau oleh konsumer, termasuk yang miskin; dan kenaikan tarif tersebut mendapat persetujuan semua pihak.

        Jamal Saghir, direktur urusan Energi dan Air dari Bank Dunia mengatakan bahwa sejauh ini bisnis di bidang air di berbagai negara masih sulit untuk mencapai keuntungan sehingga belum dapat memulihkan biaya investasinya.

        Penetapan tarif merupakan kunci utama, tapi pada saat yang sama juga dilema. Jika tarif terlalu tinggi, maka penduduk miskin tidak akan mampu membayar sehingga mereka kembali menggunakan air kotor.

        Jika tarif diterapkan terlalu rendah, maka PAM tidak akan sanggup membiayai kegiatan operasional maupun pemeliharaan fasilitasnya, sehingga lagi-lagi pelayanan mereka menjadi terbatas, maka hanya orang kaya yang dapat menikmati, dan orang miskin terlewatkan lagi.

Oleh: Fardah Assegaf. Kyoto, 21 Maret 2003.

No comments:

Post a Comment