Kyoto, 18/3/2003
(ANTARA) - Dirjen Sumber Daya Air (SDA) Depkimpraswil Dr.Roestam Sjarief
mengatakan, dengan hanya mengandalkan ilmu pengetahuan dan teknologi
(iptek), dampak perubahan iklim tak mungkin dapat dihadapi.
"Perlu kemampuan adaptasi sosial untuk menghadapinya," kata Dr Roestam kepada ANTARA di sela-sela pertemuan ke-3 Forum Air Sedunia di Kyoto, Jepang, Senin, yang diikuti sekitar 10.000 peserta dan 150 menteri dari 100 negara di dunia.
"Perlu kemampuan adaptasi sosial untuk menghadapinya," kata Dr Roestam kepada ANTARA di sela-sela pertemuan ke-3 Forum Air Sedunia di Kyoto, Jepang, Senin, yang diikuti sekitar 10.000 peserta dan 150 menteri dari 100 negara di dunia.
Pada pertemuan mengenai "Air dan Iklim" yang berlang sung dari tanggal 16 hingga 23 Maret 2003 itu, Roestam mengatakan, para pakar setuju bahwa tidak lagi mungkin kita dapat menyeimbangkan iklim yang kini cenderung makin ekstrim.
Saat ini, katanya, musim kemarau cenderung makin panas, sementara musim hujan lebih sering menimbulkan banjir. "Jadi perlu kemampuan beradaptasi agar dapat hidup secara harmonis dengan banjir," katanya.
Ia mengatakan, ada tiga cara untuk menangani masalah banjir. Pertama, jauhkan air dari penduduk, tapi cara ini cukup mahal. Ia memberi contoh dengan dibangunnya semacam dam panjang di Jakarta Timur saat ini guna menampung air di musim hujan.
Biaya untuk membangun dam tersebut yang diharapkan rampung tahun 2003 ini sekitar Rp4,8 triliun, termasuk untuk ganti rugi tanah penduduk, kata Dirjen.
Cara kedua, lebih sulit dan mahal, yaitu dengan memindahkan penduduk dari daerah banjir, serta cara ketiga adalah yang terbaik, yaitu melakukan berbagai adaptasi untuk dapat hidup berdampingan dengan banjir secara harmonis. Misalnya, dengan membuat rumah-rumah panggung di daerah rawan banjir.
Kerugian meningkat.
Data dari PBB menunjukkan bahwa kerugian materi akibat banjir dan kemarau panjang yang disebabkan oleh perubahan iklim meningkat 10 kali lipat dalam 50 tahun terakhir.
Sekitar 1,5 miliar orang menderita akibat banjir di seluruh dunia dari tahun 1971 hingga 1995, atau sekitar 100 juta orang per tahun dengan lebih dari 300.000 orang meninggal dunia dan 81 juta kehilangan tempat tinggal.
"Di awal tahun 2003 ini, iklim di Indonesia menjadi aneh karena bisa dikatakan musim hujan dan kemarau akibat El-Nino datang hampir bersamaan," kata Dirjen sambil menyebut bahwa pada saat yang semestinya masuk puncak musim hujan, tapi tiba-tiba cuaca menjadi panas selama 15 hari dan El-Nino datang karena hujan tertunda. Akibatnya banyak petani yang gagal panen.
"Kita harus mengantisipasi kemungkinan kekeringan pada musim kemarau, apalagi menurut informasi dari Jatiluhur bahwa jumlah simpanan air mungkin berkurang dari yang biasanya sehingga bisa menggnggu keperluan irigasi," kata Dr.Roestam.
Dampak perubahan iklim lainnya, yakni naiknya permuka- an air laut sehingga dapat menelan pulau-pulau kecil. "Menurut studi BPPT, sekitar 4.000-an pulau kecil milik Indonesia kemungkinan akan tenggelam akibat meningkatnya permukaan air laut," katanya.
Perubahan iklim itu juga dituding sebagai penyebab hilangnya sejumlah jenis hewan dan tanaman, yang akhirnya akan menurunkan produksi pangan secara global. PBB memper- kirakan setengah jumlah penduduk dunia akan tinggal di daerah yang rawan banjir akibat iklim yang menjadi makin ekstrim tersebut pada tahun 2025.
Dua menteri Indonesia, yakni Menteri Pemukiman Prasarana dan Wilayah Soenarno serta Menteri Pertanian Bungaran Saragih juga akan hadir dalam pertemuan lanjutan tingkat menteri pada 21-23 Maret 2003.
Menko Perekonomian Dorojatun Kuncoro-jakti juga diperkirakan akan hadir dalam forum yang diselenggarakan oleh Dewan Air Dunia (World Water Council) dan Pemerintah Jepang tersebut. (T.F01/B/M004) 18/03/:3 13:56
No comments:
Post a Comment